Entri Populer

Rabu, 29 September 2010

KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA PEMBELAJARAN IDENTIFIKASI ZAT ADITIF BERBAHAYA DALAM MAKANAN

KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA PEMBELAJARAN IDENTIFIKASI ZAT ADITIF BERBAHAYA DALAM MAKANAN

(Penelitian Kelas Terhadap Siswa Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Di Karawang)

Oleh : Ida Farida Ch, Wawan Wahyu dan Siti Kholisoh

ABSTRAK

Penelitian ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap maraknya penyalahgunaan zat aditif berbahaya pada makanan dan minuman, sedangkan banyak siswa belum mengetahui bahaya dan cara mengidentifikasi makanan yang mengandung zat aditif, seperti formalin, boraks, methanil yellow dan rodhamin-B. Siswa seharusnya dapat selektif memilih makanan, agar sesuai dengan kriteria makanan menurut Islam, yaitu halal dan bermanfaat. Oleh karena itu, dilakukan pembelajaran yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa mengidentifikasi zat aditif dalam makanan dan minuman. Untuk mengoptimalkan pembelajaran siswa dilatih untuk menguasai keterampilan proses sains melalui metode pembelajaran praktikum dan demonstrasi. Penelitian dengan metode penelitian kelas ini dilakukan terhadap siswa kelas VII salah satu Madrasah Tsanawiyah di Karawang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa siswa telah menguasai dengan baik keterampilan proses sains yang dilatihkan pada aspek; merencanakan, mengamati, mengelompokkan, interpretasi dan komunikasi. Namun sebagian besar siswa kurang terampil pada aspek penggunaan alat dan bahan. Terjadi perubahan sikap pada sebagian besar siswa dalam memilih makanan/jajanan, yaitu bersikap lebih selektif dan hati-hati, serta tumbuh rasa kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan diri, keluarga, dan orang lain. Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran mendapat tanggapan yang positif.

Kata kunci ; pembelajaran, keterampilan proses sains, zat aditif berbahaya.

I. PENDAHULUAN

Makanan dan minuman yang beredar saat ini, rawan sekali mengandung zat aditif berbahaya, seperti formalin, boraks, methanil yellow, dan rhodamin B. Para produsen makanan menambahkan zat aditif berbahaya yang tidak seharusnya ditambahkan pada makanan. Hal ini diperkuat dengan adanya data hasil penelitian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia tahun 2005 (dalam Yan, 2006), lebih dari 66% dari total 786 sampel, formalin digunakan pada pengawetan ikan hasil laut. Sementara mie basah menempati posisi kedua dengan 57%, tahu dan bakso menempati urutan berikutnya yakni 16% dan 15%.

Formalin atau formaldehid adalah larutan tak berwarna, mudah larut dalam air, mudah menguap, dan mempunyai bau yang tajam. Formalin bersifat desinfektan kuat terhadap bakteri pembusuk dan jamur. Formalin (dalam bentuk gas) dipakai untuk mencegah kerusakan tekstil oleh jamur atau ngengat. Selain itu formalin juga dapat mengeraskan jaringan sehingga dipakai sebagai pengawet mayat. Penggunaan senyawa formalin dalam makanan sangat berbahaya (meskipun dalam jumlah sedikit), karena bila dikonsumsi terus menerus dapat terakumulasi sehingga menekan fungsi sel, mempengaruhi kesetimbangan buffer darah dan cairan elektrolit pada sel (Montgomery,et.al, 1993). Tahapan berikutnya, ketika daya tahan sel tak lagi optimal, fungsi sel-sel atau jaringan berubah., tubuh dapat mengalami gangguan fungsional yang serius seperti, iritasi lambung, alergi, dan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol yang dikenal dengan penyakit kanker. (Setio, 2005 ; ).

Boraks merupakan senyawa yang berbentuk kristal berwarna putih, dan tidak berbau. Boraks bersifat disinfektan dan digunakan sebagai pengawet kayu. (Vogel, 1985). Boraks merupakan senyawa yang bisa memperbaiki tekstur makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus,misalnya bakso dan kerupuk. Bakso yang menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging. Bakso yang mengandung boraks sangat renyah dan disukai dan tahan lama sedang kerupuk yang mengandung boraks kalau digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya bagus dan renyah. Seperti halnya formalin, boraks memberikan dampak serius bagi tubuh, mulai dari gangguan pencernaan, gannguan syaraf pusat (yang ditandai dengan penurunan konsentrasi, bingung, bodoh), anemia, kerontokan rambut hingga meningkatkan resiko terjadinya kanker (bersifat karsinogen).

Rhodamin B dan methanil yellow merupakan zat pewarna tekstil (nama dagang : wantex) yang mengandung logam berat. Rhodamin B memiliki rumus molekul C28H31N2O3Cl, berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-merahan, sangat mudah larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berflouresensi kuat. Selain mudah larut dalam air juga larut dalam alkohol, HCl dan NaOH. Rhodamin B ini biasanya dipakai dalam pewarnaan kertas, di laboratorium digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th. Metanil Yellow juga merupakan salah satu zat pewama yang tidak diizinkan untuk ditambahkan ke dalam bahan makanan. Metanil Yellow digunakan sebagai pewama untuk produk-produk tekstil (pakaian), cat kayu, dan cat lukis. Metanil juga biasa dijadikan indikator reaksi netralisasi asam basa. Rhodamin B sampai sekarang masih banyak digunakan untuk mewarnai berbagai jenis makanan dan minuman (terutama untuk golongan ekonomi lemah), seperti kue-kue basah, saus tomat, saus cabe, terasi sirup, kerupuk dan tahu (khususnya Metanil Yellow), dan lain-lain. Kedua zat warna ini yang mengandung logam berat ini, bila terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan kanker terutama pada hati, ginjal, dan limpa.

Allah SWT telah berfirman:

Artinya:

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (Q.S Al-Maidah: 88)

Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan dalam konteks ketakwaan dan agar manusia berupaya untuk menghindarkan makanan yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman. Jadi, mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban sangat erat kaitannya dengan masalah iman dan takwa.

Kata halalan, (bahasa Arab) berasal dari kata hala yang berarti ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Kata thayyib berarti ‘lezat’, ‘baik’, ‘sehat’, ‘menentramkan’ dan ‘paling utama.’ Dalam konteks makanan, kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau bercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan mengkonsumsinya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya. Juga ada yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman.

Aisyah (2006) menyatakan makanan sehat adalah makanan yang mengandung gizi cukup dan seimbang Makanan yang seimbang artinya sesuai dengan kebutuhan konsumen tidak terlalu berlebihan (tabdzir) atau berkekurangan, tidak melampaui batas yang wajar. Aman artinya tidak menyebabkan penyakit, dengan kata lain aman secara duniawi dan ukhrawi. Keamanan pangan (food safety) ini secara implisit telah jelas dinyatakan dalam QS.Al-Maidah: 88 seperti tersebut di atas.

Dengan demikian, makanan yang mengandung zat aditif (formalin, rhodamin B, methanil yellow, dan boraks) yang sangat berbahaya bagi kesehatan tidak termasuk kriteria makanan yang halal dan thayyib untuk dikonsumsi dan bahkan seharusnya tidak boleh dikonsumsi. Oleh karena itu, penting sekali menyebar luaskan bahaya makanan yang mengandung zat aditif seperti itu melalui pendidikan di sekolah, agar siswa mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana memilih makanan yang halal dan baik.

Adapun cara mengidentifikasi formalin (H-COH) pada makanan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan mengamati ciri-ciri fisik atau dengan cara kimia. Salah satu makanan yang mengandung formalin adalah tahu. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin yaitu tidak tercium aroma kedelai yang khas, jika ditekan terasa kenyal, dan tahan lama. Secara kimia, formalin dapat diidentifikasi menggunakan pereaksi Fehling A dn B. Sampel yang mengandung formalin akan menunjukkan endapan berwarna merah bata setelah direaksikan dengan pereaksi Fehling A dan B.

Boraks (Na2B4O7) dalam makanan diidentifikasi dengan mengamati ciri-ciri fisik dan cara kimia. Contoh makanan yang sering diberi zat aditif boraks adalah baso. Baso yang mengandung boraks tidak tercium aroma dagingnya yang khas. Bila ditekan terasa kenyal seperti karet, berwarna abu-abu terang, dan dapat memantul. Semakin tinggi kandungan boraks dalam baso, semakin nampak ciri fisik itu dengan nyata. Secara kimia, kandungan boraks dalam makanan dapat diidentifikasi dengan kertas tumerik. (Vogel, 1985). Kertas tumerik adalah kertas saring yang dicelupkan ke dalam larutan kunyit kemudian dikeringkan. Kertas tumerik berwarna kuning akan berubah menjadi coklat bila dicelupkan ke dalam filtrat sampel makanan yang mengandung boraks. Perubahan ini terjadi karena reaksi antara asam borat (senyawa aktif dalam boraks) dengan senyawa kurkumin (senyawa aktif dalam kertas tumerik) menghasilkan senyawa baru yang sifatnya berbeda dengan zat asalnya.

Tahu yang yang menggunakan pewarna methanil yellow dapat dibedakan dari tahu yang menggunakan pewarna kunyit . Tahu dengan pewarna methanil yellow nampak homogen/ seragam dan mengkilap, sedangkan jika memakai pewarna kunyit, warnanya cenderung lebih buram (tidak cerah), dan jika dipotong maka akan kelihatan bagian dalamnya berwarna tidak homogen. Tahu yang menggunakan kunyit setelah ditetesi air sabun, terjadi perubahan warna dari kuning menjadi orange, sedangkan pada tahu yang menggunakan methanil yellow tidak terjadi perubahan apa-apa.

Berdasarkan penelitian pendahuluan, siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) mempunyai kebiasaan jajan makanan dan minuman sembarangan. Mereka umumnya tidak mengetahui bahaya mengkonsumsi makanan yang mengandung zat aditif yang tidak seharusnya ditambahkan dalam makanan. Merekapun tidak mengetahui cara membedakannya, terutama makanan yang memenuhi kriteria halal dan thoyib. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penyebarluasan informasi bahaya penyalahgunan zat aditif dalam makanan melalui pembelajaran, siswa perlu dibekali kemampuan untuk mengidentifikasinya melalui prosedur yang relatif mudah dan sederhana. Hal tersebut dapat dicapai melalui kegiatan pembelajaran zat aditif yang melatih keterampilan proses sains siswa.

Keterampilan proses sains siswa merupakan strategi siswa untuk memperoleh pengetahuan melalui pembelajaran yang melibatkan keterampilan intelektual, manual dan sosial. Keterampilan intelektual berkaitan dengan bagaimana siswa memperoleh pengetahuan antara lain melalui kegiatan mengamati, mengelompokkan, menginterpretasikan, memprediksi dan mengambil kesimpulan. Keterampilan manual melibatkan keterampilan penggunaan alat dan bahan, penyusunan alat dan melakukan percobaan. Keterampilan proses sains juga melibatkan keterampilan sosial, karena adanya interaksi sosial untuk mengkomunikasikan hasil-hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar (Rustaman, 1995)

Dalam penelitian ini, aspek keterampilan proses sains yang dilatihkan kepada siswa melalui pembelajaran zat aditif adalah keterampilan merencanakan percobaan, menggunakan alat, dan bahan, mengamati, mengelompokkan, melakukan komunikasi, dan interpretasi. Dengan memiliki keterampilan proses sains, diharapkan siswa dapat berfikir mandiri, bersikap ilmiah dan terampil dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan, terutama yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan zat aditif.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah keterampilan proses sains (KPS) siswa setelah pembelajaran identifikasi zat aditif berbahaya dalam makanan?
  2. Bagaimanakah sikap siswa dalam memilih makanan, setelah dilaksanakan pembelajaran identifikasi zat aditif dalam makanan?
  3. Bagaimanakah tanggapan siswa mengenai implementasi pembelajaran ?

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kelas, karena hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan dan memperbaiki kegiatan pembelajaran di kelas (Hopkins, 2003: 7). Subjek penelitian adalah siswa kelas VII pada salah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Karawang. Alasan pemilihan subjek penelitian tersebut, karena kebiasaan siswa jajan makanan dan minuman sembarangan, sedangkan sekolah ini berdekatan dengan pasar yang menjual beraneka ragam makanan dan minuman sehingga tidak menutup kemungkinan diantara jenis-jenis makanan dan minuman tersebut mengandung zat aditif berbahaya. Selain itu guru ybs. belum pernah menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses sains dan metode pembelajaran praktikum ataupun demonstrasi. Dengan demikian diharapkan penerapan pembelajaran dapat dijadikan model untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran di kelas. Pada implementasi pembelajaran, peneliti bertindak sebagai guru dan pembelajaran yang berlangsung diamati oleh dua orang observer.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Lembar Kerja Siswa (LKS), tes kinerja, angket sikap, dan catatan lapangan. LKS berisi teori singkat tentang materi pelajaran, prosedur percobaan, tabel data hasil pengamatan, dan pertanyaan-pertanyaan. Ada empat LKS yang digunakan, yaitu LKS untuk mengidentifikasi ciri-ciri makanan yang mengandung methanil yellow , formalin borak dan rhodamin B. Selain untuk bahan pembelajaran, LKS digunakan juga untuk melatih dan mengukur keterampilan proses sains siswa.. Adapun pembelajaran dilakukan dengan metode praktikum dan demonstrasi.

Untuk keperluan analisis, penelusuran lebih dalam dilakukan untuk setiap kategori prestasi siswa (tinggi, sedang dan rendah), masing-masing kategori diwakili oleh tiga orang siswa yang dipilih secara acak. Tes kinerja dilakukan terhadap setiap perwakilan kategori untuk memperoleh data pencapaian keterampilan proses sains siswa setelah pembelajaran. Pada tes kinerja ini, siswa dihadapkan pada masalah bagaimana memilih makanan yang aman untuk dikonsumsi dan diminta untuk mengidentifikasi zat aditif berbahaya dalam makanan melalui praktikum. Penyusunan tes kinerja mengacu pada kriteria pengembangan soal keterampilan proses sains menurut Rustaman (1995).

Angket skala sikap digunakan untuk mengetahui perubahan sikap siswa dalam memilih makanan setelah proses pembelajaran, yaitu kepedulian terhadap kesehatan diri sendiri dan orang lain, selektif dalam memilih makanan, selektif dalam menanggapi isu yang berkaitan dengan makanan. Catatan lapangan digunakan untuk mendeskripsikan berlangsungnya proses pembelajaran.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada saat pembelajaran, umumnya siswa antusias mengikutinya. Rasa ingin tahu mereka nampak, karena mereka menyadari betapa pentingnya membedakan makanan aman dikonsumsi atau tidak. Pada pembelajaran berikutnya siswa terlihat lebih antusias dibandingkan pada pertemuan pertama, dengan mempersiapkan dulu , membaca LKS di rumah. Siswa terlihat bersemangat mengerjakan praktikum ataupun memperhatikan demonstrasi yang dilakukan perwakilan teman mereka (di bawah pengawasan guru). Metode demonstrasi itu diterapkan karena terbatasnya persediaan alat-alat yang digunakan. Untuk mengatasi keterbatasan alat itu pula, maka pada praktikum siswa mengerjakan prosedur percobaan secara berkelompok. Namun demikian mereka harus mengisi LKS secara perorangan.

Dari hasil analisis data Lembar Kerja Siswa (LKS), diperoleh informasi mengenai keterampilan proses sains siswa saat kegiatan pembelajaran berlangsung untuk aspek; perencanaan (merencanakan percobaan), pengamatan, pengelompokkan, interpretasi dan komunikasi. Aspek penggunaan alat dan bahan tidak dinilai, karena mereka masih dalam taraf latihan, sehingga secara teknis sukar dilaksanakan.

Perolehan skor pada siswa kelompok prestasi tinggi pada semua aspek paling tinggi. Semua tugas dan pertanyaan pada LKS mampu dikerjakan dengan benar dan dituliskan lengkap. Pada siswa kelompok sedang, hanya aspek perencanaan yang mendapat skor tinggi, sedangkan pada siswa kelompok pencapaian KPSnya belum optimal. Banyak komponen tugas dan pertanyaan pada LKS yang dikerjakan oleh kedua kelompok siswa ini yang tidak dijawab dan diisi dengan jawaban yang keliru.

Namun demikian, berdasarkan pengamatan, ketika pembelajaran siswa umumnya telah mengerjakan prosedur percobaan dengan benar dan mampu mngidentifikasi zat aditif dalam contoh makanan dan minuman yang diberikan. Melalui penelusuran dengan wawancara, siswa tidak mengisi lengkap LKS dengan benar, karena keterbatasan waktu untuk menuliskannya dan mengira LKS itu tidak menjadi bagian dari penilaian, sehingga mereka menuliskannya sembarang saja. Diduga ini terjadi, akibat siswa sering menggunakan LKS ketika pembelajaran, namun tidak mendapatkan umpan balik dari guru setelah pembelajaran. Bagi siswa kelompok sedang dan rendah, penilaian dan penghargaan dari guru menjadi bagian yang penting untuk memotivasi semangat belajar mereka berikutnya (Cooper ,et.al, 1982)

Informasi mengenai pencapaian keterampilan proses sains setelah pembelajaran diperoleh melalui tes kinerja. Tes kinerja dikerjakan oleh siswa secara individual. Pada tes kinerja siswa diberi sampel makanan dan minuman yang mengandung zat aditif berbahaya dan yang tidak.. Mereka harus menentukan prosedur yang harus dilakukan untuk mengidentifikasinya, kemudian melakukan uji baik secara fisis maupun secara kimia. Sampel pada tes kinerja ini berbeda jenisnya dengan yang diuji pada saat pembelajaran Mereka dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip mengidentifikasi yang sudah diperoleh pada pembelajaran sebelumnya. Walaupun pada pembelajaran banyak siswa yang tidak mengisi LKS, namun hal itu tidak mempengaruhi nilai tes kinerja siswa.

Untuk siswa kategori prestasi tinggi, sedang dan rendah aspek penggunaan alat dan bahan pencapaiannya kurang optimal (di bawah 60 %). Sedangkan untuk aspek KPS lain yang dilatihkan termasuk kategori baik (pencapaian di atas 60 %). Penguasaan aspek KPS pada siswa kategori tinggi terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan siswa kategori sedang dan rendah. Selain aspek penggunaan alat dan bahan, siswa kategori rendah belum mencapai hasil yang baik pada aspek komunikasi. Secara keseluruhan rata-rata penguasaan keterampilan proses sains siswa untuk semua kategori prestasi termasuk kriteria baik , yaitu sebesar 77%. atau secara umum dapat dikatakan siswa sudah mencapai ketuntasan belajar. Temuan ini memperkuat pendapat yang menyatakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berhubungan dengan obyek yang dipelajari akan lebih bermakna bagi siswa, sehingga menghasilkan ingatan yang lebih permanen daripada siswa mendapatkan informasi mengenai obyek secara verbalistik (Novak, 1980 ; Lawson, 1995).

Perolehan nilai siswa pada tes kinerja tersebut, sangat berbeda dengan perolehan nilai siswa pada LKS. Siswa terlihat bersungguh-sunguh dalam mengisi dan melakukan kerja yang diperintahkan pada soal tes kinerja. Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan pada semua siswa pada tiap kelompok prestasi yang mengikuti tes kinerja. Umumnya mereka menyatakan: (a) menginginkan nilai yang bagus; (b) bentuk soalnya mudah dimengerti dan lucu ada gambar kartunnya; (c) jawabannya mudah karena sudah dipelajari dan dibahas di kelas; (d) dan ketika di tes suasananya tidak membuat stress. Bentuk dan isi soal yang erat kaitannya dengan materi yang telah dipelajari dan dirancang agar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Format tes dilengkapi dengan gambar-gambar untuk memvisualisasikan soal membawa pengaruh baik bagi siswa untuk menjawab soal-soal tanpa rasa tertekan.

Namun demikian, keterampilan proses sains siswa pada aspek menggunakan alat dan bahan untuk semua kelompok belum mencapai hasil yang baik. Sangat berbeda dengan perolehan nilai pada indikator-indikator KPS lainnya yang memperoleh nilai bagus di atas rata-rata minimal (60%). Aspek keterampilan menggunakan alat dan bahan yang dinilai meliputi keterampilan menggunakan pipet tetes dan menyaring campuran. Pada aspek keterampilan menggunakan pipet, terdapat lima langkah yang dinilai, yaitu (1) menekan karet pipet dengan menggunakan jempol dan telunjuk, (2) memasukan pipet ke dalam wadah dimana karet pipet masih ditekan, (3) melepaskan tekanan pada karet pipet, (4) meneteskan larutan dengan menekan karet pipet, dan (5) posisi pipet dengan tahu pada saat meneteskan larutan harus membentuk sudut 450.

Pada aspek keterampilan menyaring campuran, terdapat empat langkah yang dinilai, yaitu (1) melipat kertas saring menjadi ¼ bagian, (2) meletakkan kertas saring di dalam corong kaca, (3) membasahi kertas saring, dan (4) menuangkan campuran ke dalam wadah melalui corong kaca. Ketika siswa menggunakan alat dan bahan untuk melakukan praktikum identifikasi zat aditif berbahaya dalam makanan, siswa terlihat ragu-ragu, bingung dan ada diantara mereka yang mencoba melihat ke temannya, padahal temannya juga sama merasa kebingungan. Ternyata hal ini membawa dampak jelek pada perolehan nilai siswa.

Banyak siswa yang menggunakan pipet tetes tidak sesuai dengan prosedur penggunaan pipet yang baik. Ketika praktikum menyaring campuran, banyak siswa merasa kebingungan melipat kertas saring, karena bentuk kertas saring yang digunakan pada saat tes berbeda dengan kertas saring yang digunakan pada saat pembelajaran. Kertas saring yang digunakan pada saat tes berbentuk segi empat, sedangkan pada saat pembelajaran di kelas berbentuk lingkaran. Seharusnya mereka menggunting dulu hingga berbentuk lingkaran. Berdasarkan data hasil wawancara, belum optimalnya penguasaan siswa pada indikator menggunakan alat dan bahan karena pada pembelajaran sebelumnya guru belum pernah melaksanakan metode praktikum. Akibatnya siswa belum terbiasa menggunakan alat-alat praktikum dengan baik. Selain itu ketika pembelajaran, mereka mengerjakan prosedur praktikum secara berkelompok, sehingga kemampuan individual kurang berkembang,

Format laporan merupakan salah satu bagian dari penilaian aspek komunikasi. Pencapaian yang rendah pada aspek komunikasi yang terjadi pada kelompok rendah karena mereka belum terbiasa membuat laporan secara tertulis. Selain itu, terpengaruh oleh siswa lain yang pulang lebih dulu setelah menyelesaikan laporannya, sehingga mereka cenderung terburu-buru menuliskan hasil praktikumnya agar cepat selesai dan diizinkan meninggalkan kelas. Akibatnya beberapa bagian dari format laporan tidak dikerjakan dengan baik.

Sikap siswa setelah pembelajaran zat aditif dalam makanan menunjukkan hasil yang positif. Siswa bersikap selektif untuk memilih makanan atau minuman yang akan dikonsuminya. Sebagian besar menyatakan akan memeriksa terlebih dahulu setiap makanan atau minuman yang akan dikonsumsi melalui ciri-ciri fisisnya. Dalam menanggapi isu yang beredar mengenai penyalahgunaan zat aditif, para siswa akan memeriksa dulu kebenaran isu tersebut dengan cara mengidentifikasi zat aditif yang terkandung dalam makanan. Jika terbukti mengandung zat aditif yang bukan untuk makanan, maka siswa akan mempercayainya. Berdasarkan paparan tersebut, berarti pembelajaran dengan melatih keterampilan proses sains siswa dapat mengembangkan potensi siswa untuk membentuk konsep sendiri, dan membantu belajar bagaimana memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupannya, serta membantu siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Siswa memberikan tanggapan positif terhadap implementasi pembelajaran zat aditif dalam makanan yang melatih keterampilan proses sains. Metode demonstrasi dan praktikum yang diterapkan pada pembelajaran membuat mereka senang, termotivasi dan mempermudah mempelajari konsep-konsep yang diajarkan. Mereka menyatakan sulit memahami pelajaran dan cenderung bosan, bila pembelajaran hanya menerapkan metode konvensional berupa ‘chalk and talk’. Oleh karena itu, siswa berharap agar dalam pembelajaran selanjutnya, guru senantiasa menerapkan pembelajaran dengan metode praktikum dan demonstrasi.

Temuan hasil penelitian di atas berbeda dengan informasi awal pada observasi pra penelitian yang diperoleh dari beberapa guru. Mereka menyatakan siswa MTs tsb kurang dan hampir tidak ada motivasi serta semangat untuk belajar, sehingga mereka menyarankan sebaiknya penelitian dilakukan di sekolah menengah negeri yang favorit agar hasil penelitiannya optimal. Dengan demikian masalah siswa yang cenderung pasif itu lebih disebabkan oleh guru yang kurang tepat menerapkan metode pembelajaran. Selain itu siswa merasakan materi pembelajaran yang diberikan guru kurang relevan dengan kehidupannya sehari-hari. Temuan ini kiranya menjadi bahan masukan yang berharga bagi guru ybs, untuk mengembangkan pembelajaran selanjutnya.

Temuan penelitian di atas sejalan dengan dengan pandangan konstruktivis yang menyatakan pembelajaran kimia sebaiknya diawali dengan konsep-konsep yang memberikan makna dari suatu konteks, sehingga dapat memperluas pemahaman siswa (Fensham, 1994). Bagi siswa madrasah Tsanawiyah yang baru mengawali belajar kimia‚ pengembangan pembelajaran dengan memadukan konsep-konsep kimia dengan peristiwa di dunia nyata, mempermudah siswa mengkonstruksi konsep-konsep dalam struktur kognitifnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa :

  1. Setelah pembelajaran zat aditif dalam makanan, secara keseluruhan keterampilan proses sains siswa sudah menunjukkan penguasaan yang baik pada aspek keterampilan merencanakan percobaan, mengamati, melakukan komunikasi, mengelompokkan, dan interpretasi. Namun masih kurang pada keterampilan menggunakan alat dan bahan.
  2. Sikap siswa setelah pembelajaran menunjukkan hasil yang baik Siswa bersikap selektif dan hati-hati dalam memilih makanan serta memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan diri, keluarga, dan orang lain.
  3. Pembelajaran zat aditif dalam makanan yang melatih keterampilan proses sains siswa mendapat tanggapan positif dari siswa, karena semua siswa dapat terlibat langsung dalam proses pembelajaran sehingga lebih memudahkan mereka untuk menguasai materi pelajaran.

Berdasarkan temuan dan kesimpulan dari penelitian , maka disarankan :

  1. Pembelajaran sains kimia di MTs/SMP untuk materi pokok lain yang relevan, sebaiknya dilaksanakan melalui metode praktikum dan demonstrasi agar siswa dapat mengembangkan keterampilan proses sains.
  2. Guru sebaiknya merancang pembelajaran sedemikian rupa agar siswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak jenuh dan dapat menyerap bahan pembelajaran.
  3. Bahan pembelajaran, sebaiknya senantiasa dikaitkan dengan masalah yang erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa merasakan kebermaknaan ilmu yang dipelajarinya.
  4. Sebaiknya guru senantiasa memberikan motivasi dan penghargaan pada siswa dengan memberikan umpan balik yang memadai dan tidak menganggap rendah terhadap kemampuan siswa terutama untuk siswa Madrasah.
  5. Perangkat tes yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran siswa, sebaiknya dirancang lebih menarik agar dapat mereduksi kecemasan dan rasa tertekan siswa dalam menghadapi tes.

V. DAFTAR PUSTAKA

Aisjah Girindra. 2006. Halalan Thayyiban. http://www.halalguide.info/indeks2.php (3 Agust, 2006)

Coper, James M, et.al. 1982. Classroom Teaching Skills. 2nd. Canada,Toronto : D.C.Heath and Co.

Fensham, Peter J. (1994). Beginning to Teach Chemistry, In Peter J. Fensham (ed.). The Content of Science: A Constructivist Approach to its Teaching and Learning. London : The Falmer Press : 14 – 27.

Hart, Harold. 1990. Kimia Organik. Edisi VI (Terj: Suminar Ach.). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research.. 2nd Philadelphia: Open University Press

Lawson, A.E. (1995). Science Teaching and Development Thinking, California : Wordsworth Pub.Co.

Montgomery, Rex. Et.al. 1993. Biokimia : Suatu Pendekatan berorientasi Kasus. (Terj: Ismadi). Yogyakarta : Gajahmada University Press.

Novak, J.D. (1980). Meaningful Reception Learning As A Basis For Rational Thinking : In A. E Lawson (ed.). The Psychology of Teaching for Thinking and Creativity : 1980 AETS Yearbook. Ohio : The Ohio State University. 192-221.

Rustaman, Nuryani. 1995. Pengembangan Butir Soal Keterampilan Proses Sains. Makalah Bandung Jurusan Biologi MIPA IKIP

Setio, Mudjajanto Edi. 2005. “Tahu Makanan Favorit yang Keamanannya Perlu Diwaspadai”. Kompas Cyber Media. 18 Desember 2005.

Vogel.. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Ed. V (Terj. : Hadyana.P). Jakarta: PT. Kalman Media Pusaka

Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

PROCESS SKILLS

PROCESS SKILLS
oleh : Ajo

BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan pengajaran sains sebagai proses adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa, sehingga siswa bukan hanya mampu dan terampil dalam menghafal, melainkan juga ahli di bidang psikomotorik. Guru tidak mengharapkan setiap siswa akan menjadi ilmuwan, melainkan dapat mengemukakan ide bahwa memahami sains sebagian bergantung pada kemampuan memandang dan bergaul dengan alam menurut cara-cara seperti yang diperbuat oleh ilmuwan. Selain itu, melalui proses belajar mengajar dengan pendekatan keterampilan proses dilakukan dengan keyakinan bahwa sains adalah alat yang potensial untuk membantu mengembangkan kepribadian siswa, di mana kepribadian siswa yang berkembang ini merupakan prasyarat untuk melanjutkan ke jalur profesi apapun yang diminatinya.
Beberapa alasan yang melandasi perlunya diterapkan pendekatan ketrampilan proses sains dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: alasan pertama, perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga para guru tidak mungkin lagi mengajarkan semua fakta dan konsep kepada anak didiknya; alasan kedua, sesuai dengan pendapat para ahli psikologi yang mengatakan bahwa anak-anak mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret, contoh-contoh yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan mempraktekkan sendiri upaya penemuan konsep melalui perlakuan terhadap kenyataan fisik, melalui penanganan benda-benda yang benar nyata; alasan ketiga, penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak benar seratus persen, penemuannya bersifat relatif. Suatu teori mungkin terbantah dan ditolak setelah orang mendapatkan data baru yang mampu membuktikan kekeliruan teori yang dianut. Muncul lagi teori baru, yang prinsipnya mengandung kebenaran relatif; alasan keempat, dalam proses pembelajaran seharusnya pengembangan konsep tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai dari diri anak didik.
Berdasarkan keempat alasan ini dicari cara mengajar-belajar yang sebaik-baiknya dengan melakukan pendekatan yang baru. Pendekatan itu adalah cara belajar siswa aktif yang mengembangkan keterampilan proses. Keterampilan proses ini melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual, dan sosial. Keterampilan proses atau intelektual terlibat dengan melakukan ketrampilan proses peserta didik menggunakan pikirannya. Keterampilan manual jelas terlibat dalam ketrampilan proses karena mungkin mereka melibatkan penggunaan alat dan bahan, pengukuran, penyusunan atau perakitan alat. Dengan keterampilan proses dimaksudkan agar tercipta interaksi antara sesama anak didik dalam kegiatan belajar mengajar dengan keterampilan proses.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas penulis akan membahas tentang Keterampilan Proses (Process Skills) yang bertujuan untuk menambah wawasan dan uga sebagai tugas mata kuliah Evaluasi Pembelajaran Fisika.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Proses vs Pendekatan Keterampilan Proses
Dalam checep05 (2008), Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.
Pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang prinsipnya telah ada dalam diri siswa (DEPDIKBUD, dalam Moedjiono, 1992/1993 : 14)
Menurut Semiawan, dkk (Nasution, 2007 : 1.9-1.10) menyatakan bahwa keterampilan proses adalah keterampilan fisik dan mental terkait dengan kemampuan- kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai dan diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiah, sehingga para ilmuan berhasil menemukan sesuatu yang baru.
Dimyati dan Mudjiono (Sumantri, 1998/1999: 113) mengungkapkan bahwa pendekatan keterampilan proses bukanlah tindakan instruksional yang berada diluar jangkauan kemampuan peserta didik. Pendekatan ini justru bermaksud mengembangkan kemampuan- kamapuan yang dimiliki peserta didik.
Keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh dari latihan kemampuan-kemampuan mental, fisik, dan social yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-kelamaan akan menjadi suatu keterampilan, sedangkan pendekatan keterampilan proses adalah cara memandang anak didik sebagai manusia seutuhnya. Cara memandang ini dijabarkan dalam kegiatan belajar mengajar memperhatikan pengembangan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan. Ketiga unsure itu menyatu dalam satu individu dan terampil dalam bentuk kreatifitas.
Jadi, pendekatan keterampilan proses menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana mengelola perolehannya, sehingga dipahami dan dapat dipakai sebagai bekal untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya di masyarakat.
Science A Process Approach (SAPA) dan pendekatan keterampilan proses sains (KPS) merupakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada proses IPA. Namun dalam tujuan dan pelaksanaannya terdapat perbedaan. SAPA (Science A Process Approach) tidak mementingkan konsep. Selain itu SAPA (Science A Process Approach) menuntut pengembangan pendekatan proses secara utuh yaitu metode ilmiah dalam setiap pelaksanaannya, sedangkan jenis-jenis keterampilan proses dalam pendekatan keterampilan proses sains (KPS) dapat dikembangkan secara terpisah-pisah, bergantung metode yang digunakan. Umpamanya dalam metode demonstrasi dapat dikembangkan keterampilan proses tertentu (observasi, interpretasi, komunikasi, dan aplikasi konsep).
B. Jenis-jenis Keterampilan Proses Sains (KPS)
Ilmuwan-ilmuwan yang menemukan sesuatu yang baru, menurut pengamatan, tidak menguasai semua konsep dan fakta dalam suatu bidang ilmu, namun mereka mempunyai kemampuan dasar untuk mengembangkan konsep dan fakta yang terbatas itu, sehingga mereka bias menciptakan dan menemukan sesuatu yang baru.
Dalam Conny (1987) menyatakan kemampuan-kemampuan dasar yang dimaksud tersebut adalah mengobservasi, menghitung, mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang dan waktu, membuat hipotesis, merencanakan penelitian atau eksperimen, mengendalikan verbal, menafsirkan data, membuat kesimpulan sementara, meramalkan, menerapkan, dan mengkomunikasikan.
Dalam Tatang (2010), Here we suggest one possible interpretation of seven of the process skills of science (Harlen and Jelly, 1997):
1. Observing: watching carefully, taking notes, comparing and contrasting
2. Questioning: asking questions about observations; asking questions that can lead to investigations
3. Hypothesizing: providing explanations consistent with available observations
4. Predicting: suggesting an event in the future, based on observations
5. Investigating: planning, conducting, measuring, gathering data, controlling variables
6. Interpreting: synthesizing, drawing conclusions, seeing patterns
7. Communicating: informing others in a variety of means: oral, written, representational
Dalam Nuryani (1995) menyatakan bahwa keterampilan proses terdiri dari sejumlah keterampilan yang satu sama lain sebenarnya tak dapat dipisahkan, masing-masing keterampilan tersebut yaitu:
1. Melakukan pengamatan (observasi)
2. Menafsirkan pengamatan (interpretasi)
3. Mengelompokkan (klasifikasi)
4. Meramalkan (prediksi)
5. Berkomunikasi
6. Berhipotesis
7. Merencanakan percobaan atau penyelidikan
8. Menerapkan konsep atau prinsip
9. Mengajukan pertanyaan
Table 1. Jenis kemampuan dasar beserta indicatornya
No Keterampilan Proses Indikator
1 Mengajukan pertanyaan - Bertanya mengapa, apa dan bagaimana
- Bertanya untuk meminta penjelasan
- Bertanya yang berlatar belakang hipotesis
2 Mengamati - Menemukan fakta yang relevan dan memadai
- Menggunakan sebanyak mungkin indra
3 Menafsirkan/pengamatan - Mencatat setiap pengamatan secara terpisah
- Menghubungkan pengamatan-pengamatan yang terpisah
- Menemukan suatu pola dalam satu seri pengamatan
4 Meramalkan - Dengan menggunakan pola (hubungan) mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati
5 Mengatur alat dan bahan - Menggunakan alat dan bahan untuk melakukan pengamatan langsung
6 Merencanakan penelitian - Menentukan alat, bahan dan sumber yang akan dipakai dalam penelitian
- Menentukan variable
- Menentukan variable yang harus dibuat tetap sama, dan mana yang berubah
- Menentukan apa yang harus diamati, diukur dan ditulis
- Menentukan cara dan langkah kerja
7 Menerapkan konsep - Menentukan bagaimana mengolah pengamatan
- Menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru
- Menerapkan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang terjadi
8 Berkomunikasi - Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis
- Menjelaskan hasil penelitian
- Mendiskusikan hasil penelitian
- Menggambarkan data dengan grafik, table atau diagram
Sumber: Luthfiyadi (2008)
Khusus untuk keterampilan proses dasar, proses-prosesnya meliputi keterampilan mengobservasi, mengklasifikasi, mengukur, mengkomunikasikan, menginferensi, memprediksi, mengenal hubungan ruang dan waktu, serta mengenal hubungan-hubungan angka.
1. Keterampilan Mengobservasi
Keterampilan mengobservasi menurut Esler dan Esler (1984) adalah keterampilan yang dikembangkan dengan menggunakan semua indera yang kita miliki untuk mengidentifikasi dan memberikan nama sifat-sifat dari objek atau kejadian. Definisi serupa disampaikan oleh Abruscato (1988) yang menyatakan bahwa mengobservasi artinya menggunakan segenap panca indera untuk memperoleh informasi atau data mengenai benda atau kejadian. (Nasution, 2007: 1.8- 1.9)
2. Keterampilan Mengklasifikasi
Keterampilan mengklasifikasi menurut Esler dan Esler merupakan keterampilan yang dikembangkan melalui latihan-latihan mengkategorikan benda-benda berdasarkan pada sifat-sifat benda tersebut. Menurut Abruscato mengklasifikasi merupakan proses yang digunakan para ilmuan untuk menentukan golongan benda-benda atau kegiatan-kegiatan. (Nasution, 2007: 1.15)
3. Keterampilan Mengukur
Keterampilan mengukur menurut Esler dan Esler dapat dikembangkan melalui kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan satuan-satuan yang cocok dari ukuran panjang, luas, isi, waktu, berat, dan sebagainya. Abruscato menyatakan bahwa mengukur adalah suatu cara yang kita lakukan untuk mengukur observasi. Sedangkan menurut Carin, mengukur adalah membuat observasi kuantitatif dengan membandingkannya terhadap standar yang konvensional atau standar non konvensional. (Nasution, 2007: 1.20)
4. Keterampilan Mengkomunikasikan
Menurut Abruscato (Nasution, 2007: 1.44) mengkomunikasikan adalah menyampaikan hasil pengamatan yang berhasil dikumpulkan atau menyampaikan hasil penyelidikan. Menurut Esler dan Esler (Nasution, 2007: 1.44) dapat dikembangkan dengan menghimpun informasi dari grafik atau gambar yang menjelaskan benda-benda serta kejadian-kejadian secara rinci.
5. Keterampilan Menginferensi
Keterampilan menginferensi menurut Esler dan Esler dapat dikatakan juga sebagai keterampilan membuat kesimpulan sementara. Menurut Abruscato, menginferensi, menduga atau menyimpulkan secara sementara adalah adalah menggunakan logika untuk membuat kesimpulan dari apa yang di observasi (Nasution, 2007: 1.49)
6. Keterampilan Memprediksi
Memprediksi adalah meramal secara khusus tentang apa yang akan terjadi pada observasi yang akan datang (Abruscato Nasution, 2007: 1.55) atau membuat perkiraan kejadian atau keadaan yang akan datang yang diharapkan akan terjadi (Carin, 1992). Keterampilan memprediksi menurut Esler dan Esler adalah keterampilan memperkirakan kejadian yang akan datang berdasarkan dari kejadian-kejadian yang terjadi sekarang, keterampilan menggunakan grafik untuk menyisipkan dan meramalkan terkaan-terkaan atau dugaan- dugaan. (Nasution, 2007: 1.55)
7. Keterampilan Mengenal Hubungan Ruang dan Waktu
Keterampilan mengenal hubungan ruang dan waktu menurut Esler dan Esler meliputi keterampilan menjelaskan posisi suatu benda terhadap lainnya atau terhadap waktu atau keterampilan megnubah bentuk dan posisi suatu benda setelah beberapa waktu. Sedangkan menurut Abruscato menggunakan hubungan ruang-waktu merupakan keterampilan proses yan gberkaitan dengan penjelasan hubungan tentang ruang dan waktu beserta perubahan waktu.
8. Keterampilan Mengenal Hubungan Bilangan-bilangan
Keterampilan mengenal hubungan bilangan-bilangan menurut Esler dan Esler meliputi kegaitan menemukan hubungan kuantitatif diantara data dan menggunakan garis biangan untuk membuat operasi aritmatika (matematika). Carin mengemukakan bahwa menggunakan angka adalah mengaplikasikan aturan- aturan atau rumus- ruumus matematik untuk menghitung jumlah atau menentukan hubungan dari pengukuran dasar. Menurut Abruscato, menggunakan bilangan merupakan salah satu kemampuan dasar pada keterampilan proses.(Nasution, 2007: 1.61- 1.62).
C. Karakteristik dan Cara Penyusunan Butir Soal KPS
Untuk evaluasi keterampilan proses akan dibahas karakteristik butir soal KPS dan penyusunan butir soal KPS.
1. Karakteristik Butir Soal Keterampilan Proses Sains
Nuryani (1995) menyatakan Karakteristik butir soal KPS akan dibahas secara umum dan secara khusus. Secara umum pembahasan butir soal keterampilan proses lebih ditujukan untuk membedakannya dengan butir soal biasa yang mengukur penguasaan konsep. Secara khusus karakteristik jenis keterampilan proses tertentu akan dibahas dan dibandingkan satu sama lain, sehingga jelas perbedaannya.
a. Karakteristik umum
Secara umum butir soal keterampilan proses dapat dibedakan dari butir soal penguasaan konsep. Butir-butir soal keterampilan proses memiliki beberapa karakteristik.
a) Butir soal keterampilan proses tidak boleh dibebani konsep (nonkonsep burdan). Hal ini diupayakan agar butir soal tersebut tidak rancu dengan pengukuran penguasaan konsepnya. Konsep dijadikan konteks. Konsep yang terlibat harus diyakini oleh penyusun butir soal sudah dipelajari siswa atau tidak asing bagi siswa (dekat dengan keadaan sehari-hari siswa).
b) Butir soal keterampilan proses mengandung sejumlah informasi yang harus diolah oleh responden atau siswa. Informasi dalam butir soal keterampilan proses dapat berupa gambar, diagram, grafik, data dalam tabel atau uraian, atau objek aslinya.
c) Seperti butir soal pada umumnya, aspek yang akan diukur oleh butir soal keterampilan proses harus jelas dan hanya mengandung satu aspek saja, misal interpretasi.
d) Sebaiknya ditampilkan gambar untuk membantu menghadirkan objek.
b. Karakteristik khusus
a) Observasi: harus dari objek atau peristiwa sesungguhnya.
b) Interpretasi: harus menyajikan sejumlah data untuk memperlihatkan pola.
c) Klasifikasi: harus ada kesempatan mencari/menemukan persamaan dan perbedaan, atau diberikan kriteria tertentu untuk melakukan pengelompokan, atau ditentukan jumlah kelompok yang harus terbentuk.
d) Prediksi: harus jelas pola atau kecendrungan untuk dapat mengajukan dugaan atau ramalan.
e) Berkomunikasi: harus ada satu bentuk penyajian tertentu untuk diubah ke bentuk penyajian lainnya, misalnya bentuk uraian ke bentuk bagan atau bentuk tabel ke bentuk grafik.
f) Berhipotesis: dapat merumuskan dugaan atau jawaban sementara, atau menguji pemyataan yang ada dan mengandung hubungan dua variabel atau lebih, biasanya mengandung cara kerja untuk menguji atau membuktikan.
g) Merencanakan percobaan atau penyelidikan: harus memberi kesempatan untuk mengusulkan gagasan berkenaan dengan alat/bahan yang akan digunakan, urutan prosedur yang harus ditempu, menentukan peubah (variabel), mengendalikan peubah.
h) Menerapkan konsep atau prinsip: harus memuat konsep/ prinsip yang akan diterapkan tanpa menyebutkan nama konsepnya.
i) Mengajukan pertanyaan: harus memunculkan sesuatu yang mengherankan, mustahil, tidak biasa atau kontradiktif agar responden atau siswa termotivasi untuk bertanya.
2. Penyusunan Butir Soal Keterampilan Proses Sains
Penyusunan butir soal KPS menuntut penguasaan masing-masing jenis keterampilan prosesnya (termasuk pengembangannya). Pilihlah satu konsep tertentu untuk dijadikan konteks. Dengan mengingat karakteristik jenis keterampilan proses yang akan diukur, sajikan sejumlah informasi yang perlu diolah. Setelah itu disiapkan pertanyaan atau suruhan yang dimaksudkan untuk memperoleh respon atau jawaban yang diharapkan. Tentukan pula bagaimana bentuk respon yang diminta: memberi tanda silang pada huruf a/b/c atau memberi tanda cek dalam kolom yang sesuai, atau menuliskan jawaban singkat 3 buah, atau bentuk lainnya.
Umpamanya akan disusun soal keterampilan observasi tentang bagian-bagian bunga. Berikan satu tangkai bunga sesungguhnya untuk diperiksa (informasi). Sebaiknya dipilih bunga yang kontras dan memiliki bau khas. Ajukan pertanyaan mengenai jumlah kelopak, jumlah dan keadaan daun mahkota bunga, bentuk kepala sari, keadaan kepala putik, dan ciri khas bunga tersebut. Respon diminta dalam bentuk jawaban singkat 5 buah berurutan ke bawah dari a sampai e.
D. Indikator dan Kriteria Pemberian Skor
Sebagaimana butir soal pada umumnya, butir soal keterampilan proses perlu diberi skor dengan cara tertentu. Setiap respon yang benar diberi skor dengan bobot tertentu, umpamanya masing-masing 1 untuk soal observasi di atas yang berarti jumlah skornya 5.
Untuk respon yang lebih kompleks, misalnya membuat pertanyaan, dapat
diberi skor bervariasi berdasarkan tingkat kesulitannya. Umpamanya pertanyaan berlatar-belakang hipotesis diberi skor 3; pertanyaan apa, mengapa, bagaimana diberi skor 2, pertanyaan yang meminta penjelasan diberi skor 1.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam tujuan dan pelaksanaannya terdapat perbedaan. SAPA (Science A Process Approach) tidak mementingkan konsep dan menuntut pengembangan pendekatan proses secara utuh yaitu metode ilmiah dalam setiap pelaksanaannya, sedangkan jenis-jenis keterampilan proses dalam (KPS) dapat dikembangkan secara terpisah-pisah, bergantung metode yang digunakan.
Dalam Nuryani (1995) menyatakan bahwa keterampilan proses terdiri dari sejumlah keterampilan yang satu sama lain sebenarnya tak dapat dipisahkan, masing-masing keterampilan tersebut yaitu: melakukan pengamatan (observasi), menafsirkan pengamatan (interpretasi), mengelompokkan (klasifikasi), meramalkan (prediksi), berkomunikasi, berhipotesis, merencanakan percobaan atau penyelidikan, menerapkan konsep atau prinsip, dan mengajukan pertanyaan.
B. Saran
Bagi semua para pendidik agar menekankan penggunaan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran IPA. Sudah sewajarnya keterampilan proses menjadi bagian yang tak terpisahkan (milik) guru IPA pada jenjang pendidikan manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Checep05, (2008). Pendekatan dan Metode Pembelajaran. http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/. Di akses 21 Maret 2010
Harlen, W., and Jelly, S. (1989/1997). Developing Science in the Primary Classroom. Essex, England: Addison Wesley Longman, Ltd.
Luthfiyadi (2008). Pendekatan Keterampilan Proses. http://www.scribd.com/doc/14825385/KETERAMPILAN-POSES. Di akses 21 Maret 2010
Moedjiono dan Moh. Dimyati. 1992/1993. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: DEPDIKBUD
Nuryani Y. Rustaman, (1995). Pengembangan Butir Soal Keterampilan. http://onengdalilah.blogspot.com/2009/02/pengembangan-butir-soal-keterampilan.html. Di akses 17 Maret 2010
Russamsi Martomidjojo, (2009). Keterampilan Proses Sains. http://russamsimartomidjojocentre.blogspot.com/2009/05/keterampilan-proses-sains.html. Di akses 17 Maret 2010
Sumantri, Mulyani dan Johar Permana.1998/1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: DEPDIKBUD
Tatang M. Amirin (2010). Pendekatan Keterampilan Proses (PKP): Apa itu? http://tatangmanguny.wordpress.com/2010/02/05/pendekatan-keterampilan-proses-pkp-apa-itu/. Di akses 21 Maret 2010
Wahidin (2008). Keterampilan Proses Dasar pada Pembelajaran IPA. http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/10/27/keterampilan-proses-dasar-pada-pembelajaran-ipa/. Di akses 21 Maret 2010

STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS

Pusat Perbukuan

Departemen Pendidikan Nasional

2003

STANDAR PENILAIAN

BUKU PELAJARAN SAINS

A. Landasan Pengembangan Standar Penilaian

1. Latar Belakang

Sains adalah salah satu mata pelajaran utama dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, khususnya Pendidikan Dasar. Sains adalah mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar peserta didik, mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, dan mutu pendidikan sains di Indonesia, ditinjau dari perolehan NEM masih memprihatinkan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka perolehan rata-rata NEM sains atau IPA siswa menjadi semakin kecil. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, walaupun telah banyak upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun para guru. Upaya tersebut mencakup dana, waktu, tenaga, dan pikiran yang telah banyak dicurahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan IPA, namun belum memberikan hasil yang memuaskan.

Adakah hal yang salah dalam pendidikan sains kita? Apabila kita melihat fakta di lapangan; para siswa kita sangat pandai menghafal, tetapi kurang terampil dalam mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini mungkin terkait dengan kecenderungan menggunakan hafalan sebagai wahana untuk menguasai ilmu pengetahuan, bukan kemampuan berpikir. Tampaknya pendidikan sains di Indonesia lebih menekankan pada abstract conceptualization dan kurang mengembangkan active experimentation, padahal seharusnya keduanya seimbang secara proporsional.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengubah paradigma tersebut adalah menyediakan buku sebagai rujukan yang baik dan benar baik bagi guru maupun siswa, karena buku pelajaran merupakan salah satu sarana yang penting dalam menunjang proses kegiatan belajar mengajar. Menurut Bahrul Hayat dkk. (2001) dalam “Pedoman Sistem Penilaian”, buku teks adalah buku pelajaran yang berperan dalam menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik. Buku pelajaran yang dimaksud adalah buku yang menjadi pegangan baik bagi siswa maupun guru, serta berisi berbagai informasi yang merupakan penjelasan rasional dari kurikulum yang menjadi rujukan. Buku pelajaran tersedia untuk setiap jenjang pendidikan, yaitu Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Sekolah Luar Biasa, dan Perguruan Tinggi/Universitas.

Buku pelajaran sains yang ada di lapangan, ditinjau dari jumlah, jenis, maupun kualitasnya sangat bervariasi. Sementara itu, buku pelajaran pada umumnya menjadi rujukan utama dalam suatu proses pembelajaran. Guru di lapangan seringkali tidak merujuk pada kurikulum dalam perencanaan dan implementasi pembelajarannya tetapi pada buku pelajaran yang digunakan. Dengan demikian, jika mutu buku yang ada tidak memenuhi standar mutu, terutama dalam kaitannya dengan konsep dan aplikasi konsep (miskonsepsi, bahkan salah konsep), maka yang terjadi adalah buku tersebut akan menjadi sumber pembodohan, bukan sumber pencerdasan anak didik; tentunya hal ini sangat membahayakan dunia pendidikan.

Buku pelajaran memegang peran yang cukup menentukan dalam proses peningkatan mutu pembelajaran. Oleh karena itu, buku pelajaran sains yang beredar harus memiliki kualitas yang memenuhi standar kualitas mutu buku pelajaran yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan Pemerintah melalui Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional harus melakukan fungsi kontrol yang ketat terhadap mutu buku pelajaran tersebut.

2. Hakikat Sains (Ilmu Pengetahuan Alam)

Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dengan segala isinya. Hal yang dipelajari dalam sains adalah sebab-akibat, hubungan kausal dari kejadian-kejadian yang terjadi di alam. Menurut Powler (dalam Winataputra 1993), sains adalah ilmu yang sistematis dan dirumuskan dengan mengamati gejala-gejala kebendaan, dan didasarkan terutama atas pengamatan induksi. Carin dan Sund (1993) mendefinisikan sains sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Aktivitas dalam sains selalu berhubungan dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan. Secara sederhana, sains dapat juga didefinisikan sebagai apa yang dilakukan oleh para ahli sains. Dengan demikian, sains bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Ilmuwan sains selalu tertarik dan memperhatikan peristiwa alam, selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang suatu gejala alam dan hubungan kausalnya.

Dalam sains, terdapat tiga unsur utama, yaitu sikap manusia, proses atau metodologi, dan hasil yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sikap manusia yang selalu ingin tahu tentang benda-benda, makhluk hidup, dan hubungan sebab-akibatnya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan prosedur yang benar. Prosedur tersebut meliputi metode ilmiah. Metode ilmiah mencakup perumusan hipotesis, perancangan percobaan, evaluasi atau pengukuran, dan akhirnya menghasilkan produk berupa fakta-fakta, prinsip-prinsip, teori, hukum, dan sebagainya.

3. Proses Pembelajaran

Prinsip proses pembelajaran adalah belajar, sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Oleh karena itu, pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang kondusif sehingga proses belajar dapat tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran adalah proses penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat. Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan miniatur masyarakat luas. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses sosialisasi, dan apa yang dipelajari di sekolah seharusnya merupakan cerminan keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dapat dimanfaatkan atau diimplementasikan dalam masyarakat.

Permasalahan dalam proses belajar mengajar dewasa ini adalah kecenderungan umum bahwa para siswa hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan berpikirnya. Dikhawatirkan mereka menjadi malas untuk berpikir dan terbiasa malas berpikir mandiri. Kecenderungan ini sama saja dengan proses pemandulan dan sama sekali bukan proses pencerdasan. Para siswa dan juga gurunya masih terbiasa belajar dengan domain kognitif rendah. Oleh karena itu, metode berpikir dalam kegiatan mereka belajarpun belum menyentuh domain afektif dan konatif yang diperlukan. Aspek lain berkenaan dengan konsep diri dan proses pengembangan kemandirian dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Belajar berani berpikir obyektif apalagi berbeda dengan buku dan keterangan guru, berpikir logis atau kritis, dialogis dan argumentatif umumnya masih langka di sekolah-sekolah kita. Selain itu sistem penilaian secara formatif masih amat terbatas jika dibandingkan dengan penilaian sumatif.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas riil di lapangan kegiatan belajar mengajar di sekolah pada umumnya dewasa ini cenderung monoton dan tidak menarik, sehingga beberapa pelajaran ditakuti dan selalu dianggap sulit oleh siswa, misalnya matematika dan sains. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi positif dengan perolehan NEM pelajaran tersebut yang selalu menempati urutan terendah. Beberapa penyebabnya adalah pembelajaran di sekolah khususnya, sains lebih menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan hafalan dalam upaya menguasai ilmu pengetahuan, bukan mengembangkan keterampilan berpikir siswa, mengembangkan aktualisasi konsep dengan diimbangi pengalaman konkret dan aktivitas bereksperimen. Pembelajaran sains berlangsung dengan hanya menyangkut substansi, tanpa mengembangkan kemampuan melakukan yang berhubungan dengan proses-proses mental seperti penalaran dan sikap ilmiah (Supangkat 1991). Salah satu penyebab hal ini adalah temuan Slimming (1998) yang menemukan bahwa perilaku mengajar guru di Indonesia cenderung bersifat belajar pasif dengan menggunakan metode ceramah hampir di sebagian besar aktivitas proses belajar mengajarnya di kelas.

Permasalahan ini semestinya menjadi perhatian serius dari Pemerintah yang perlu berupaya keras untuk mencari terobosan-terobosan dalam memecahkannya, baik melalui pengembangan materi pembelajaran baru maupun melalui pemberdayaan metodik-didaktik yang sudah ada. Di samping faktor penunjang lain di luar akademik antara lain penyediaan buku pelajaran yang bermutu, baik, dan dapat mengembangkan pembelajaran dengan paradigma baru tersebut.

Tujuan kurikulum dengan paradigma yang baru pada prinsipnya adalah tetap conceptual mastery. Tetapi hal tersebut diperoleh dengan pendekatan berbasis kompetensi, dengan tujuan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif terhadap perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan tuntutan desentralisasi. Dengan demikian lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya dengan kepentingan daerah, dan karakteristik peserta didik, serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang berdeverensiasi.

Peserta didik dituntut untuk menguasai konsep-konsep dasar yang telah dipilih secara selektif melalui aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa. Siswa harus mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas kontekstual yang dikembangkan dalam pembelajaran dimana siswa terlibat langsung dalam pengalaman sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang diajarkan dan aktif melakukan eksperimen, melakukan pengolahan data, serta membuat kesimpulan. Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan di dalam kelas perlu dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada, mendorong siswa membuat hubungan antara konsep yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan keseharian siswa di dalam masyarakat. Akhirnya pembelajaran lebih bermakna dan proses belajar lebih penting daripada hasil belajar. Dengan dukungan situasi yang demikian, siswa perlu dikondisikan di dalam situasi pembelajaran di kelas yang memungkinkan siswa mengerti dan memahami makna belajar, manfaat, peran dan status siswa dalam proses pembelajaran tersebut. Jika siswa dapat memahami dan mengerti hal tersebut, maka siswa akan berusaha untuk mencapainya dan memerlukan guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan mediator.

Pembelajaran yang ingin dikembangkan berorientasi pada proses bagaimana memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir yang dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran tersebut dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.

Dalam buku “Pendekatan Kontekstual” yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan ketujuh komponen dalam pembelajarannya. Ketujuh komponen tersebut adalah konstruktivisme, bertanya, inquiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya.

Konstruktivisme merupakan filosofi pendekatan kontekstual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa, melalui pemecahan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna. Proses menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, pengetahuan, dan keterampilan sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri hasilnya. Tahap-tahap siswa menemukan merupakan cara berpikir ilmiah melalui keterampilan proses, di antaranya adalah merumuskan masalah, melakukan observasi, melakukan analisis dan menyajikan hasil serta mengkomunikasikan. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, bertanya ini tidak hanya guru terhadap siswa, tetapi juga siswa terhadap guru dan terhadap teman sendiri. Bagi siswa aktivitas bertanya adalah untuk menggali informasi, mengkomunikasikan apa yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Di dalam proses pembelajaran di kelas dengan pendekatan kontekstual, dikondisikan terciptanya suasana saling belajar, siswa belajar dari guru, dari buku dan sumber informasi lainnya, dari sesama teman, serta guru belajar dari siswa, sehingga di dalam ruang kelas tersebut terjadi masyarakat belajar.

Pemodelan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah sesuatu yang dapat ditiru oleh siswa untuk memudahkan, memperlancar, membangkitkan ide dalam proses pembelajaran. Model dapat diperoleh dari guru, siswa, atau dari luar sekolah yang relevan dengan konteks dan materi yang sedang menjadi topik bahasan.

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari, tentang apa yang sudah dilakukan masa lalu dan merupakan respon terhadap kejadian. Serta aktivitas atau pengetahuan baru yang diterima atau dilakukan. Penilaian yang sebenarnya adalah proses pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat proses pembelajaran yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Jadi, penilaian autentik adalah penilaian terhadap pengetahuan dan performansi yang diperoleh siswa selama aktivitas pembelajaran berlangsung.

Seperti diketahui, sasaran belajar sains adalah membangun gagasan saintifik setelah para siswa berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya. Pandangan konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan sains mutakhir menganggap semua siswa memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan, fakta akan gejala alam disekitarnya, meskipun hal tersebut kadang terkesan naif dan miskonsepsi. Mereka (para siswa) seringkali mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif tersebut secara kokoh, karena gagasan atau pengetahuan itu mengait dengan gagasan atau pengetahuan awal lainnya yang sudah lebih dulu dibangun dalam wujud struktur kognitifnya.

Menurut pandangan ini, kegiatan pembelajaran dimulai dari apa yang diketahui siswa, sehingga pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinasi gagasan atau pengetahuan saintifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non saintifik menjadi gagasan atau pengetahuan yang saintifik. Dengan demikian, arsitek peubah gagasan atau pengetahuan dalam diri siswa adalah siswa sendiri. Sedangkan guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang menyediakan, mempermudah, bahkan kalau bisa mempercepat berlangsungnya proses belajar. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glaserfeld (Jaskarti, 2002) diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.

Beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme adalah diskusi di mana siswa mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demo serta peragaan prosedur ilmiah, juga kegiatan lain yang memberi ruang kepada siswa untuk dapat mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.

Dalam belajar secara konstruktif, para siswa mempunyai kesempatan untuk menyatakan, menguji, memodifikasi, dan juga meninggalkan ide-ide awal mereka yang sudah ada sebelumnya dan mengadopsi ide-ide baru. Melalui tugas-tugas dalam pelajaran sains yang dikaitkan dengan tingkat perkembangan intelektualnya, para siswa mempunyai kesempatan untuk memahami alam secara aktif dengan membangun pemahaman tentang fenomena alam melalui aktivitas nyata kehidupan sehari-hari

Menurut Carr, dkk (1989) konstruktivisme sebagai sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat menjanjikan akan adanya perubahan pada hasil pembelajaran. Pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada siswa sebagai pusat pembelajaran, dan pendekatan seperti ini diharapkan dapat lebih merangsang dan memberi peluang kepada siswa untuk belajar, berpikir inovatif, dan mengembangkan potensinya secara optimal.

a. Proses Pembelajaran Sains

Sains pada dasarnya mencari hubungan kausal antara gejala-gejala alam yang diamati. Oleh karena itu, proses pembelajaran sains seharusnya mengem-bangkan kemampuan bernalar dan berpikir sistematis selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Salah satu inovasi sebagai salah satu usaha adalah mencari model-model pembelajaran sains yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan sains.

Hal ini berarti, belajar sains tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar sains memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya.

Pembelajaran sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung. Dengan demikian, siswa perlu dibantu untuk mampu mengembangkan sejumlah pengetahuan yang menyangkut kerja ilmiah dan pemahaman konsep serta aplikasinya. Bahan kajian kerja ilmiah adalah :

mampu menggali pengetahuan melalui penyelidikan/penelitian,

mampu mengkomunikasikan pengetahuannya,

mampu mengembangkan keterampilan berpikir,

mampu mengembangkan sikap dan nilai ilmiah.

Selanjutnya, bahan kajian sains yang berkaitan dengan pemahaman konsep dan penerapannya adalah:

memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang makhluk hidup dan proses kehidupan;

memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang materi dan sifatnya;

memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang energi dan perubahannya;

memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang bumi dan alam semesta; serta

memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang hubungan antara sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

Keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sains, diantaranya adalah keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan, mengkomunikasikan, hasil temuan secara beragam, menggali dan memilah informasi faktual untuk menguji gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari.

Prinsipnya pembelajaran sains, yaitu cara memberi tahu dan cara berbuat, akan membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitarnya dengan mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian dalam interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lainnya.

Oleh karena itu, hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pembelajaran sains seperti yang dikemukakan dalam Kurikulum Sains Berbasis Kompetensi, adalah :

empat pilar pendidikan dari Unesco,

inkuiri sains,

konstruktivisme,

sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat,

pemecahan masalah, serta

pembelajaran sains yang bermuatan nilai.

b. Buku Pelajaran Sains dan Peranannya.

Buku pelajaran merupakan salah satu sumber pengetahuan bagi siswa di sekolah yang merupakan sarana yang sangat menunjang proses kegiatan belajar mengajar. Buku pelajaran sangat menetukan keberhasilan pendidikan para siswa dalam menuntut pelajaran di sekolah. Oleh karena itu, buku pelajaran yang baik dan bermutu selain menjadi sumber pengetahuan yang dapat menunjang keberhasilan belajar siswa juga dapat membimbing dan mengarahkan proses belajar mengajar di kelas ke arah proses pembelajaran yang bermutu pula. Buku yang dirancang sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta dikembangkan dengan paradigma baru akan mengarahkan proses pembelajaran pada arah yang benar sesuai tuntutan kurikulum dengan paradigma baru tersebut.

Buku pelajaran menurut Bahrul Hayat dkk (2001) meliputi buku teks utama dan buku teks pelengkap. Buku teks Utama berisi bahan-bahan pelajaran suatu bidang studi yang digunakan sebagai buku pokok bagi siswa dan guru. Sedangkan buku teks pelengkap adalah buku yang sifatnya membantu atau merupakan tambahan bagi buku teks utama dan digunakan oleh guru dan siswa.

Jenis buku pelajaran yang diharapkan adalah buku yang dapat menunjang terselenggaranya pembelajaran dengan pendekatan konstruktif sehingga buku tersebut dapat membelajarkan siswa, menjadi sumber inspirasi, dan sumber informasi baik bagi siswa maupun guru. Buku pelajaran yang baik adalah buku yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, sehingga dapat menjadi media yang baik dan akan membantu mengoptimalkan proses belajar mengajar seperti yang diharapkan di atas. Jenis buku yang demikian diharapkan dapat membantu proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan Sains.

Buku pelajaran sekolah merupakan sarana untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, berarti buku pelajaran yang digunakan di sekolah baik oleh guru maupun siswa harus jelas, lengkap, akurat, dan dapat mengkomunikasikan informasi, konsep, serta pengetahuan proseduralnya. Dengan demikian setiap buku pelajaran harus memiliki standar yang sesuai dengan tujuan dari buku pelajaran tersebut, yaitu sesuai dengan jenjang pendidikan, psikologi perkembangan siswa, kebutuhan dan tuntutan kurikulum, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Karakteristik Siswa

Proses perkembangan kognitif manusia sebenarnya mulai berlangsung semenjak ia dilahirkan. Menurut Jean Piaget, anak usia SD tergolong pada tahap concrete-operational. Pada fase ini kemampuan berpikirnya masih bersifat intuitif, yakni berpikir dengan mengandalkan ilham.

Dalam periode ini, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Anak sudah berkembang ke arah berpikir konkret dan rasional. Piaget menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir khayal, dan mulai berpikir konkret.

B. STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS

Setiap buku pelajaran diharapkan memenuhi standar-standar tertentu yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan (siswa dan guru), perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kurikulum. Standar yang dimaksud dalam pedoman penilaian ini meliputi persyaratan, karakteristik, dan kompetensi minimum yang harus terkandung di dalam suatu buku. Standar penilaian dirumuskan dengan melihat tiga aspek utama, yaitu materi, penyajian, dan bahasa/keterbacaan.

1. Aspek Materi

Standar yang berkaitan dengan aspek materi yang harus ada dalam setiap buku pelajaran sains adalah sebagai berikut.

(1) Kelengkapan materi.

(2) Keakuratan materi.

(3) Kegiatan yang mendukung materi.

(4) Kemutakhiran materi.

(5) Upaya meningkatkan kompetensi sains siswa.

(6) Pengorganisasian materi mengikuti sistematika keilmuan.

(7) Kegiatan pembelajaran mengembangkan keterampilan dan kemampuan berpikir.

(8) Materi merangsang siswa untuk melakukan inquiry.

(9) Penggunaan notasi, simbol dan satuan.

2. Aspek Penyajian

Standar yang berkaitan dengan aspek penyajian yang harus ada dalam setiap buku pelajaran sains adalah sebagai berikut.

(1) Organisasi penyajian umum.

(2) Organisasi penyajian per bab.

(3) Materi disajikan dengan mempertimbangkan kebermaknaan dan kebermanfaatan.

(4) Melibatkan siswa secara aktif.

(5) Mengembangkan proses pembentukan pengetahuan.

(6) Tampilan umum menarik.

(7) Variasi dalam cara penyampaian informasi.

(8) Meningkatkan kualitas pembelajaran.

(9) Anatomi buku pelajaran sains.

(10) Memperhatikan kode etik dan hak cipta.

(11) Memperhatikan kesetaraan gender dan kepedulian terhadap lingkungan.

3. Aspek Bahasa/Keterbacaan

Standar yang berkaitan dengan aspek bahasa/keterbacaan yang harus ada dalam setiap buku pelajaran sains adalah sebagai berikut:

(1) Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

(2) Peristilahan.

(3) Kejelasan bahasa.

(4) Kesesuaian bahasa.

STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS

Aspek

Kriteria

Indikator

Materi

Kelengkapan materi

§ Mencakup materi yang ada di kurikulum yang berlaku.

§ Meliputi kompetensi dasar

§ Tidak terjadi pengulangan yang berlebihan.

Keakuratan materi

§ Kebenaran konsep (definisi, rumus, hukum, dan sebagainya).

§ Aplikasi kontekstual dalam kehidupan nyata

Kegiatan yang mendukung materi

§ Kegiatan/soal latihan mendukung konsep dengan benar

§ Kegiatan/soal latihan dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa

§ Soal latihan dilengkapi kunci penyelesaian dan pembahasan

Kemutakhiran materi

§ Mengaitkan dengan perkembangan ilmu terkini.

§ Menggunakan pendekatan “sts” (science technology society).

§ Mengaplikasikan konsep secara umum

§ Memperkenalkan perkembangan sains dan hakikatnya.

Materi dapat meningkatkan kompetensi sains siswa

§ Merencanakan dan melakukan kerja ilmiah.

§ Mengidentifikasi obyek dan fenomena dalam sistem yang ada di alam.

§ Mengaitkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem yang ada di alam.

§ Menerapkan konsep sains dengan teknologi dan kehidupan.

§ Mengkomunikasikan pikiran secara lisan dan tertulis

Materi mengikuti sistematika keilmuan

§ Materi disajikan dari yang sederhana ke yang sulit.

§ Menunjukkan bahwa sains tidak hanya merupakan produk, tetapi juga proses penemuan.

§ Menekankan pada pengalaman langsung.

§ Mengembangkan keterampilan proses

Materi mengembangkan keterampilan dan kemampuan berpikir

§ Mengenali hubungan sebab-akibat.

§ Mengembangkan kemampuan mengambil keputusan

§ Mengembangkan kemampuan problem-solving.

§ Mengembangkan kreativitas.

Materi merangsang siswa untuk mencaritahu (inquiry).

§ Merumuskan masalah.

§ Melakukan pengamatan/observasi.

§ Menganalisis dan menyajikan hasil pengamatan secara kritis

§ Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada orang lain.

Penggunaan notasi, simbol, dan satuan

§ Notasi, simbol, dan satuan yang terdapat dalam materi sesuai dengan acuan Sistem Internasional (SI).

§ Notasi, simbol, dan satuan dalam materi yang tidak menggunakan aturan Sistem Internasional (SI) selalu diberi penjelasan.

Penyajian

Organisasi penyajian umum

§ Materi disajikan secara sistematis dan logis.

§ Materi disajikan secara sederhana dan jelas.

§ Materi disajikan secara runtut.

§ Menunjang keterlibatan dan kemauan siswa untuk terlibat aktif mengemukakan dan berbagi ide

Organisasi penyajian per bab

§ Penjelasan awal (Advance Organizer) & tujuan pembelajaran

§ Penjelasan materi pokok.

§ Aplikasi konsep dalam kehidupan sehari-hari.

§ Terdapat kegiatan siswa yang bermanfaat.

§ Latihan/contoh soal yang nyata, dengan solusi/pembahasan

Penyajian mempertimbangkan kebermaknaan dan kebermanfaatan

§ Mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya dalam menjelaskan suatu fenomena

§ Mengaitkan suatu konsep dengan kehidupan nyata siswa.

§ Penjelasan konsep sebagai upaya untuk membangun struktur pengetahuan IPA siswa

Melibatkan siswa secara aktif

§ Setiap konsep, diakhiri dengan kegiatan yang menuntut siswa melakukan kegiatan tersebut.

§ Ada upaya menarik minat baca siswa.

§ Ada beberapa topik yang harus dikerjakan oleh siswa secara berkelompok, mengembangkan pembelajaran kolaboratif.

Mengembangkan proses pembentukan pengetahuan

§ Adanya proses yang menggiring siswa mengalami kegiatan langsung.

i. Penyajian materi dan kegiatan menggunakan pendekatan konstruktivisme.

§ Banyak menawarkan kegiatan yang mengembangkan keterampilan proses.

Tampilan umum

§ Gambar ilustrasi, gambar nyata, grafik sesuai dengan konsepnya.

§ Judul dan keterangan gambar sesuai dengan gambar

§ Gambar nyata, gambar animasi, grafik dan sebagainya disajikan dengan jelas, menarik dan berwarna.

§ Dapat mengembangkan minat baca baik guru maupun siswa

Variasi dalam cara penyampaian informasi

i. Mengembangkan berbagai cara menyajikan informasi (gambar nyata, gambar animasi, grafik, dan sebagainya).

ii. Informasi jelas, akurat dan menambah pemahaman konsep

  1. Sesuai dengan konsep yang menjadi pokok bahasannya.

Meningkatkan kualitas pembelajaran

§ Penyajian materi, kegiatan, dan tugas menggunakan pendekatan konstruktivisme.

§ Mengembangkan mekanisme siswa sebagai pusat pembelajaran.

§ Berorientasi pada CTL (Contextual Teaching and Learning).

§ Mendorong siswa aktif.

Anatomi buku pelajaran

a. Memiliki daftar isi

b. Memiliki petunjuk penggunaan buku pelajaran

Memperhatikan kode etik dan hak cipta

i. Saduran, cuplikan, dan kutipan mencantumkan sumbernya dengan jelas.

ii. Gambar, baik gambar nyata maupun animasi, grafik, dan data hasil kutipan harus mencatumkan sumbernya.

Memperhatikan kesetaraan gender & kepedulian terhadap lingkungan

i. Memberikan perlakuan yang seimbang terhadap gender dalam memberikan contoh atau acuan.

b. Memperhatikan kepedulian terhadap lingkungan dalam memberikan contoh atau melakukan kegiatan

Bahasa/Keterbacaan

Bahasa Indonesia yang baik & benar

i. Menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

  1. Menggunakan aturan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Peristilahan

Menggunakan peristilahan yang sesuai dengan konsep yang menjadi pokok bahasan.

Terdapat penjelasan untuk peristilahan yang sulit atau tidak umum.

Kejelasan bahasa

Bahasa yang digunakan sederhana, lugas, dan mudah dipahami siswa.

Kalimat tidak bertele-tele, langsung dan tidak terlalu banyak anak kalimat.

Kesesuaian bahasa

Bahasa disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa (komunikatif)

Struktur kalimat sesuai dengan tingkat penguasaan kognitif siswa.

Bahasa mengembangkan kemampuan berpikir logis siswa dalam memahami konsep-konsep IPA.