Entri Populer

Rabu, 29 September 2010

KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA PEMBELAJARAN IDENTIFIKASI ZAT ADITIF BERBAHAYA DALAM MAKANAN

KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA PEMBELAJARAN IDENTIFIKASI ZAT ADITIF BERBAHAYA DALAM MAKANAN

(Penelitian Kelas Terhadap Siswa Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Di Karawang)

Oleh : Ida Farida Ch, Wawan Wahyu dan Siti Kholisoh

ABSTRAK

Penelitian ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap maraknya penyalahgunaan zat aditif berbahaya pada makanan dan minuman, sedangkan banyak siswa belum mengetahui bahaya dan cara mengidentifikasi makanan yang mengandung zat aditif, seperti formalin, boraks, methanil yellow dan rodhamin-B. Siswa seharusnya dapat selektif memilih makanan, agar sesuai dengan kriteria makanan menurut Islam, yaitu halal dan bermanfaat. Oleh karena itu, dilakukan pembelajaran yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa mengidentifikasi zat aditif dalam makanan dan minuman. Untuk mengoptimalkan pembelajaran siswa dilatih untuk menguasai keterampilan proses sains melalui metode pembelajaran praktikum dan demonstrasi. Penelitian dengan metode penelitian kelas ini dilakukan terhadap siswa kelas VII salah satu Madrasah Tsanawiyah di Karawang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa siswa telah menguasai dengan baik keterampilan proses sains yang dilatihkan pada aspek; merencanakan, mengamati, mengelompokkan, interpretasi dan komunikasi. Namun sebagian besar siswa kurang terampil pada aspek penggunaan alat dan bahan. Terjadi perubahan sikap pada sebagian besar siswa dalam memilih makanan/jajanan, yaitu bersikap lebih selektif dan hati-hati, serta tumbuh rasa kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan diri, keluarga, dan orang lain. Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran mendapat tanggapan yang positif.

Kata kunci ; pembelajaran, keterampilan proses sains, zat aditif berbahaya.

I. PENDAHULUAN

Makanan dan minuman yang beredar saat ini, rawan sekali mengandung zat aditif berbahaya, seperti formalin, boraks, methanil yellow, dan rhodamin B. Para produsen makanan menambahkan zat aditif berbahaya yang tidak seharusnya ditambahkan pada makanan. Hal ini diperkuat dengan adanya data hasil penelitian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia tahun 2005 (dalam Yan, 2006), lebih dari 66% dari total 786 sampel, formalin digunakan pada pengawetan ikan hasil laut. Sementara mie basah menempati posisi kedua dengan 57%, tahu dan bakso menempati urutan berikutnya yakni 16% dan 15%.

Formalin atau formaldehid adalah larutan tak berwarna, mudah larut dalam air, mudah menguap, dan mempunyai bau yang tajam. Formalin bersifat desinfektan kuat terhadap bakteri pembusuk dan jamur. Formalin (dalam bentuk gas) dipakai untuk mencegah kerusakan tekstil oleh jamur atau ngengat. Selain itu formalin juga dapat mengeraskan jaringan sehingga dipakai sebagai pengawet mayat. Penggunaan senyawa formalin dalam makanan sangat berbahaya (meskipun dalam jumlah sedikit), karena bila dikonsumsi terus menerus dapat terakumulasi sehingga menekan fungsi sel, mempengaruhi kesetimbangan buffer darah dan cairan elektrolit pada sel (Montgomery,et.al, 1993). Tahapan berikutnya, ketika daya tahan sel tak lagi optimal, fungsi sel-sel atau jaringan berubah., tubuh dapat mengalami gangguan fungsional yang serius seperti, iritasi lambung, alergi, dan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol yang dikenal dengan penyakit kanker. (Setio, 2005 ; ).

Boraks merupakan senyawa yang berbentuk kristal berwarna putih, dan tidak berbau. Boraks bersifat disinfektan dan digunakan sebagai pengawet kayu. (Vogel, 1985). Boraks merupakan senyawa yang bisa memperbaiki tekstur makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus,misalnya bakso dan kerupuk. Bakso yang menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging. Bakso yang mengandung boraks sangat renyah dan disukai dan tahan lama sedang kerupuk yang mengandung boraks kalau digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya bagus dan renyah. Seperti halnya formalin, boraks memberikan dampak serius bagi tubuh, mulai dari gangguan pencernaan, gannguan syaraf pusat (yang ditandai dengan penurunan konsentrasi, bingung, bodoh), anemia, kerontokan rambut hingga meningkatkan resiko terjadinya kanker (bersifat karsinogen).

Rhodamin B dan methanil yellow merupakan zat pewarna tekstil (nama dagang : wantex) yang mengandung logam berat. Rhodamin B memiliki rumus molekul C28H31N2O3Cl, berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu kemerah-merahan, sangat mudah larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berflouresensi kuat. Selain mudah larut dalam air juga larut dalam alkohol, HCl dan NaOH. Rhodamin B ini biasanya dipakai dalam pewarnaan kertas, di laboratorium digunakan sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th. Metanil Yellow juga merupakan salah satu zat pewama yang tidak diizinkan untuk ditambahkan ke dalam bahan makanan. Metanil Yellow digunakan sebagai pewama untuk produk-produk tekstil (pakaian), cat kayu, dan cat lukis. Metanil juga biasa dijadikan indikator reaksi netralisasi asam basa. Rhodamin B sampai sekarang masih banyak digunakan untuk mewarnai berbagai jenis makanan dan minuman (terutama untuk golongan ekonomi lemah), seperti kue-kue basah, saus tomat, saus cabe, terasi sirup, kerupuk dan tahu (khususnya Metanil Yellow), dan lain-lain. Kedua zat warna ini yang mengandung logam berat ini, bila terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan kanker terutama pada hati, ginjal, dan limpa.

Allah SWT telah berfirman:

Artinya:

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (Q.S Al-Maidah: 88)

Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan dalam konteks ketakwaan dan agar manusia berupaya untuk menghindarkan makanan yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman. Jadi, mengkonsumsi makanan yang halalan thayyiban sangat erat kaitannya dengan masalah iman dan takwa.

Kata halalan, (bahasa Arab) berasal dari kata hala yang berarti ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Kata thayyib berarti ‘lezat’, ‘baik’, ‘sehat’, ‘menentramkan’ dan ‘paling utama.’ Dalam konteks makanan, kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau bercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan mengkonsumsinya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya. Juga ada yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman.

Aisyah (2006) menyatakan makanan sehat adalah makanan yang mengandung gizi cukup dan seimbang Makanan yang seimbang artinya sesuai dengan kebutuhan konsumen tidak terlalu berlebihan (tabdzir) atau berkekurangan, tidak melampaui batas yang wajar. Aman artinya tidak menyebabkan penyakit, dengan kata lain aman secara duniawi dan ukhrawi. Keamanan pangan (food safety) ini secara implisit telah jelas dinyatakan dalam QS.Al-Maidah: 88 seperti tersebut di atas.

Dengan demikian, makanan yang mengandung zat aditif (formalin, rhodamin B, methanil yellow, dan boraks) yang sangat berbahaya bagi kesehatan tidak termasuk kriteria makanan yang halal dan thayyib untuk dikonsumsi dan bahkan seharusnya tidak boleh dikonsumsi. Oleh karena itu, penting sekali menyebar luaskan bahaya makanan yang mengandung zat aditif seperti itu melalui pendidikan di sekolah, agar siswa mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana memilih makanan yang halal dan baik.

Adapun cara mengidentifikasi formalin (H-COH) pada makanan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan mengamati ciri-ciri fisik atau dengan cara kimia. Salah satu makanan yang mengandung formalin adalah tahu. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin yaitu tidak tercium aroma kedelai yang khas, jika ditekan terasa kenyal, dan tahan lama. Secara kimia, formalin dapat diidentifikasi menggunakan pereaksi Fehling A dn B. Sampel yang mengandung formalin akan menunjukkan endapan berwarna merah bata setelah direaksikan dengan pereaksi Fehling A dan B.

Boraks (Na2B4O7) dalam makanan diidentifikasi dengan mengamati ciri-ciri fisik dan cara kimia. Contoh makanan yang sering diberi zat aditif boraks adalah baso. Baso yang mengandung boraks tidak tercium aroma dagingnya yang khas. Bila ditekan terasa kenyal seperti karet, berwarna abu-abu terang, dan dapat memantul. Semakin tinggi kandungan boraks dalam baso, semakin nampak ciri fisik itu dengan nyata. Secara kimia, kandungan boraks dalam makanan dapat diidentifikasi dengan kertas tumerik. (Vogel, 1985). Kertas tumerik adalah kertas saring yang dicelupkan ke dalam larutan kunyit kemudian dikeringkan. Kertas tumerik berwarna kuning akan berubah menjadi coklat bila dicelupkan ke dalam filtrat sampel makanan yang mengandung boraks. Perubahan ini terjadi karena reaksi antara asam borat (senyawa aktif dalam boraks) dengan senyawa kurkumin (senyawa aktif dalam kertas tumerik) menghasilkan senyawa baru yang sifatnya berbeda dengan zat asalnya.

Tahu yang yang menggunakan pewarna methanil yellow dapat dibedakan dari tahu yang menggunakan pewarna kunyit . Tahu dengan pewarna methanil yellow nampak homogen/ seragam dan mengkilap, sedangkan jika memakai pewarna kunyit, warnanya cenderung lebih buram (tidak cerah), dan jika dipotong maka akan kelihatan bagian dalamnya berwarna tidak homogen. Tahu yang menggunakan kunyit setelah ditetesi air sabun, terjadi perubahan warna dari kuning menjadi orange, sedangkan pada tahu yang menggunakan methanil yellow tidak terjadi perubahan apa-apa.

Berdasarkan penelitian pendahuluan, siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) mempunyai kebiasaan jajan makanan dan minuman sembarangan. Mereka umumnya tidak mengetahui bahaya mengkonsumsi makanan yang mengandung zat aditif yang tidak seharusnya ditambahkan dalam makanan. Merekapun tidak mengetahui cara membedakannya, terutama makanan yang memenuhi kriteria halal dan thoyib. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penyebarluasan informasi bahaya penyalahgunan zat aditif dalam makanan melalui pembelajaran, siswa perlu dibekali kemampuan untuk mengidentifikasinya melalui prosedur yang relatif mudah dan sederhana. Hal tersebut dapat dicapai melalui kegiatan pembelajaran zat aditif yang melatih keterampilan proses sains siswa.

Keterampilan proses sains siswa merupakan strategi siswa untuk memperoleh pengetahuan melalui pembelajaran yang melibatkan keterampilan intelektual, manual dan sosial. Keterampilan intelektual berkaitan dengan bagaimana siswa memperoleh pengetahuan antara lain melalui kegiatan mengamati, mengelompokkan, menginterpretasikan, memprediksi dan mengambil kesimpulan. Keterampilan manual melibatkan keterampilan penggunaan alat dan bahan, penyusunan alat dan melakukan percobaan. Keterampilan proses sains juga melibatkan keterampilan sosial, karena adanya interaksi sosial untuk mengkomunikasikan hasil-hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar (Rustaman, 1995)

Dalam penelitian ini, aspek keterampilan proses sains yang dilatihkan kepada siswa melalui pembelajaran zat aditif adalah keterampilan merencanakan percobaan, menggunakan alat, dan bahan, mengamati, mengelompokkan, melakukan komunikasi, dan interpretasi. Dengan memiliki keterampilan proses sains, diharapkan siswa dapat berfikir mandiri, bersikap ilmiah dan terampil dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan, terutama yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan zat aditif.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah keterampilan proses sains (KPS) siswa setelah pembelajaran identifikasi zat aditif berbahaya dalam makanan?
  2. Bagaimanakah sikap siswa dalam memilih makanan, setelah dilaksanakan pembelajaran identifikasi zat aditif dalam makanan?
  3. Bagaimanakah tanggapan siswa mengenai implementasi pembelajaran ?

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kelas, karena hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan dan memperbaiki kegiatan pembelajaran di kelas (Hopkins, 2003: 7). Subjek penelitian adalah siswa kelas VII pada salah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Karawang. Alasan pemilihan subjek penelitian tersebut, karena kebiasaan siswa jajan makanan dan minuman sembarangan, sedangkan sekolah ini berdekatan dengan pasar yang menjual beraneka ragam makanan dan minuman sehingga tidak menutup kemungkinan diantara jenis-jenis makanan dan minuman tersebut mengandung zat aditif berbahaya. Selain itu guru ybs. belum pernah menerapkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses sains dan metode pembelajaran praktikum ataupun demonstrasi. Dengan demikian diharapkan penerapan pembelajaran dapat dijadikan model untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran di kelas. Pada implementasi pembelajaran, peneliti bertindak sebagai guru dan pembelajaran yang berlangsung diamati oleh dua orang observer.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Lembar Kerja Siswa (LKS), tes kinerja, angket sikap, dan catatan lapangan. LKS berisi teori singkat tentang materi pelajaran, prosedur percobaan, tabel data hasil pengamatan, dan pertanyaan-pertanyaan. Ada empat LKS yang digunakan, yaitu LKS untuk mengidentifikasi ciri-ciri makanan yang mengandung methanil yellow , formalin borak dan rhodamin B. Selain untuk bahan pembelajaran, LKS digunakan juga untuk melatih dan mengukur keterampilan proses sains siswa.. Adapun pembelajaran dilakukan dengan metode praktikum dan demonstrasi.

Untuk keperluan analisis, penelusuran lebih dalam dilakukan untuk setiap kategori prestasi siswa (tinggi, sedang dan rendah), masing-masing kategori diwakili oleh tiga orang siswa yang dipilih secara acak. Tes kinerja dilakukan terhadap setiap perwakilan kategori untuk memperoleh data pencapaian keterampilan proses sains siswa setelah pembelajaran. Pada tes kinerja ini, siswa dihadapkan pada masalah bagaimana memilih makanan yang aman untuk dikonsumsi dan diminta untuk mengidentifikasi zat aditif berbahaya dalam makanan melalui praktikum. Penyusunan tes kinerja mengacu pada kriteria pengembangan soal keterampilan proses sains menurut Rustaman (1995).

Angket skala sikap digunakan untuk mengetahui perubahan sikap siswa dalam memilih makanan setelah proses pembelajaran, yaitu kepedulian terhadap kesehatan diri sendiri dan orang lain, selektif dalam memilih makanan, selektif dalam menanggapi isu yang berkaitan dengan makanan. Catatan lapangan digunakan untuk mendeskripsikan berlangsungnya proses pembelajaran.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada saat pembelajaran, umumnya siswa antusias mengikutinya. Rasa ingin tahu mereka nampak, karena mereka menyadari betapa pentingnya membedakan makanan aman dikonsumsi atau tidak. Pada pembelajaran berikutnya siswa terlihat lebih antusias dibandingkan pada pertemuan pertama, dengan mempersiapkan dulu , membaca LKS di rumah. Siswa terlihat bersemangat mengerjakan praktikum ataupun memperhatikan demonstrasi yang dilakukan perwakilan teman mereka (di bawah pengawasan guru). Metode demonstrasi itu diterapkan karena terbatasnya persediaan alat-alat yang digunakan. Untuk mengatasi keterbatasan alat itu pula, maka pada praktikum siswa mengerjakan prosedur percobaan secara berkelompok. Namun demikian mereka harus mengisi LKS secara perorangan.

Dari hasil analisis data Lembar Kerja Siswa (LKS), diperoleh informasi mengenai keterampilan proses sains siswa saat kegiatan pembelajaran berlangsung untuk aspek; perencanaan (merencanakan percobaan), pengamatan, pengelompokkan, interpretasi dan komunikasi. Aspek penggunaan alat dan bahan tidak dinilai, karena mereka masih dalam taraf latihan, sehingga secara teknis sukar dilaksanakan.

Perolehan skor pada siswa kelompok prestasi tinggi pada semua aspek paling tinggi. Semua tugas dan pertanyaan pada LKS mampu dikerjakan dengan benar dan dituliskan lengkap. Pada siswa kelompok sedang, hanya aspek perencanaan yang mendapat skor tinggi, sedangkan pada siswa kelompok pencapaian KPSnya belum optimal. Banyak komponen tugas dan pertanyaan pada LKS yang dikerjakan oleh kedua kelompok siswa ini yang tidak dijawab dan diisi dengan jawaban yang keliru.

Namun demikian, berdasarkan pengamatan, ketika pembelajaran siswa umumnya telah mengerjakan prosedur percobaan dengan benar dan mampu mngidentifikasi zat aditif dalam contoh makanan dan minuman yang diberikan. Melalui penelusuran dengan wawancara, siswa tidak mengisi lengkap LKS dengan benar, karena keterbatasan waktu untuk menuliskannya dan mengira LKS itu tidak menjadi bagian dari penilaian, sehingga mereka menuliskannya sembarang saja. Diduga ini terjadi, akibat siswa sering menggunakan LKS ketika pembelajaran, namun tidak mendapatkan umpan balik dari guru setelah pembelajaran. Bagi siswa kelompok sedang dan rendah, penilaian dan penghargaan dari guru menjadi bagian yang penting untuk memotivasi semangat belajar mereka berikutnya (Cooper ,et.al, 1982)

Informasi mengenai pencapaian keterampilan proses sains setelah pembelajaran diperoleh melalui tes kinerja. Tes kinerja dikerjakan oleh siswa secara individual. Pada tes kinerja siswa diberi sampel makanan dan minuman yang mengandung zat aditif berbahaya dan yang tidak.. Mereka harus menentukan prosedur yang harus dilakukan untuk mengidentifikasinya, kemudian melakukan uji baik secara fisis maupun secara kimia. Sampel pada tes kinerja ini berbeda jenisnya dengan yang diuji pada saat pembelajaran Mereka dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip mengidentifikasi yang sudah diperoleh pada pembelajaran sebelumnya. Walaupun pada pembelajaran banyak siswa yang tidak mengisi LKS, namun hal itu tidak mempengaruhi nilai tes kinerja siswa.

Untuk siswa kategori prestasi tinggi, sedang dan rendah aspek penggunaan alat dan bahan pencapaiannya kurang optimal (di bawah 60 %). Sedangkan untuk aspek KPS lain yang dilatihkan termasuk kategori baik (pencapaian di atas 60 %). Penguasaan aspek KPS pada siswa kategori tinggi terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan siswa kategori sedang dan rendah. Selain aspek penggunaan alat dan bahan, siswa kategori rendah belum mencapai hasil yang baik pada aspek komunikasi. Secara keseluruhan rata-rata penguasaan keterampilan proses sains siswa untuk semua kategori prestasi termasuk kriteria baik , yaitu sebesar 77%. atau secara umum dapat dikatakan siswa sudah mencapai ketuntasan belajar. Temuan ini memperkuat pendapat yang menyatakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berhubungan dengan obyek yang dipelajari akan lebih bermakna bagi siswa, sehingga menghasilkan ingatan yang lebih permanen daripada siswa mendapatkan informasi mengenai obyek secara verbalistik (Novak, 1980 ; Lawson, 1995).

Perolehan nilai siswa pada tes kinerja tersebut, sangat berbeda dengan perolehan nilai siswa pada LKS. Siswa terlihat bersungguh-sunguh dalam mengisi dan melakukan kerja yang diperintahkan pada soal tes kinerja. Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan pada semua siswa pada tiap kelompok prestasi yang mengikuti tes kinerja. Umumnya mereka menyatakan: (a) menginginkan nilai yang bagus; (b) bentuk soalnya mudah dimengerti dan lucu ada gambar kartunnya; (c) jawabannya mudah karena sudah dipelajari dan dibahas di kelas; (d) dan ketika di tes suasananya tidak membuat stress. Bentuk dan isi soal yang erat kaitannya dengan materi yang telah dipelajari dan dirancang agar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Format tes dilengkapi dengan gambar-gambar untuk memvisualisasikan soal membawa pengaruh baik bagi siswa untuk menjawab soal-soal tanpa rasa tertekan.

Namun demikian, keterampilan proses sains siswa pada aspek menggunakan alat dan bahan untuk semua kelompok belum mencapai hasil yang baik. Sangat berbeda dengan perolehan nilai pada indikator-indikator KPS lainnya yang memperoleh nilai bagus di atas rata-rata minimal (60%). Aspek keterampilan menggunakan alat dan bahan yang dinilai meliputi keterampilan menggunakan pipet tetes dan menyaring campuran. Pada aspek keterampilan menggunakan pipet, terdapat lima langkah yang dinilai, yaitu (1) menekan karet pipet dengan menggunakan jempol dan telunjuk, (2) memasukan pipet ke dalam wadah dimana karet pipet masih ditekan, (3) melepaskan tekanan pada karet pipet, (4) meneteskan larutan dengan menekan karet pipet, dan (5) posisi pipet dengan tahu pada saat meneteskan larutan harus membentuk sudut 450.

Pada aspek keterampilan menyaring campuran, terdapat empat langkah yang dinilai, yaitu (1) melipat kertas saring menjadi ¼ bagian, (2) meletakkan kertas saring di dalam corong kaca, (3) membasahi kertas saring, dan (4) menuangkan campuran ke dalam wadah melalui corong kaca. Ketika siswa menggunakan alat dan bahan untuk melakukan praktikum identifikasi zat aditif berbahaya dalam makanan, siswa terlihat ragu-ragu, bingung dan ada diantara mereka yang mencoba melihat ke temannya, padahal temannya juga sama merasa kebingungan. Ternyata hal ini membawa dampak jelek pada perolehan nilai siswa.

Banyak siswa yang menggunakan pipet tetes tidak sesuai dengan prosedur penggunaan pipet yang baik. Ketika praktikum menyaring campuran, banyak siswa merasa kebingungan melipat kertas saring, karena bentuk kertas saring yang digunakan pada saat tes berbeda dengan kertas saring yang digunakan pada saat pembelajaran. Kertas saring yang digunakan pada saat tes berbentuk segi empat, sedangkan pada saat pembelajaran di kelas berbentuk lingkaran. Seharusnya mereka menggunting dulu hingga berbentuk lingkaran. Berdasarkan data hasil wawancara, belum optimalnya penguasaan siswa pada indikator menggunakan alat dan bahan karena pada pembelajaran sebelumnya guru belum pernah melaksanakan metode praktikum. Akibatnya siswa belum terbiasa menggunakan alat-alat praktikum dengan baik. Selain itu ketika pembelajaran, mereka mengerjakan prosedur praktikum secara berkelompok, sehingga kemampuan individual kurang berkembang,

Format laporan merupakan salah satu bagian dari penilaian aspek komunikasi. Pencapaian yang rendah pada aspek komunikasi yang terjadi pada kelompok rendah karena mereka belum terbiasa membuat laporan secara tertulis. Selain itu, terpengaruh oleh siswa lain yang pulang lebih dulu setelah menyelesaikan laporannya, sehingga mereka cenderung terburu-buru menuliskan hasil praktikumnya agar cepat selesai dan diizinkan meninggalkan kelas. Akibatnya beberapa bagian dari format laporan tidak dikerjakan dengan baik.

Sikap siswa setelah pembelajaran zat aditif dalam makanan menunjukkan hasil yang positif. Siswa bersikap selektif untuk memilih makanan atau minuman yang akan dikonsuminya. Sebagian besar menyatakan akan memeriksa terlebih dahulu setiap makanan atau minuman yang akan dikonsumsi melalui ciri-ciri fisisnya. Dalam menanggapi isu yang beredar mengenai penyalahgunaan zat aditif, para siswa akan memeriksa dulu kebenaran isu tersebut dengan cara mengidentifikasi zat aditif yang terkandung dalam makanan. Jika terbukti mengandung zat aditif yang bukan untuk makanan, maka siswa akan mempercayainya. Berdasarkan paparan tersebut, berarti pembelajaran dengan melatih keterampilan proses sains siswa dapat mengembangkan potensi siswa untuk membentuk konsep sendiri, dan membantu belajar bagaimana memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupannya, serta membantu siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Siswa memberikan tanggapan positif terhadap implementasi pembelajaran zat aditif dalam makanan yang melatih keterampilan proses sains. Metode demonstrasi dan praktikum yang diterapkan pada pembelajaran membuat mereka senang, termotivasi dan mempermudah mempelajari konsep-konsep yang diajarkan. Mereka menyatakan sulit memahami pelajaran dan cenderung bosan, bila pembelajaran hanya menerapkan metode konvensional berupa ‘chalk and talk’. Oleh karena itu, siswa berharap agar dalam pembelajaran selanjutnya, guru senantiasa menerapkan pembelajaran dengan metode praktikum dan demonstrasi.

Temuan hasil penelitian di atas berbeda dengan informasi awal pada observasi pra penelitian yang diperoleh dari beberapa guru. Mereka menyatakan siswa MTs tsb kurang dan hampir tidak ada motivasi serta semangat untuk belajar, sehingga mereka menyarankan sebaiknya penelitian dilakukan di sekolah menengah negeri yang favorit agar hasil penelitiannya optimal. Dengan demikian masalah siswa yang cenderung pasif itu lebih disebabkan oleh guru yang kurang tepat menerapkan metode pembelajaran. Selain itu siswa merasakan materi pembelajaran yang diberikan guru kurang relevan dengan kehidupannya sehari-hari. Temuan ini kiranya menjadi bahan masukan yang berharga bagi guru ybs, untuk mengembangkan pembelajaran selanjutnya.

Temuan penelitian di atas sejalan dengan dengan pandangan konstruktivis yang menyatakan pembelajaran kimia sebaiknya diawali dengan konsep-konsep yang memberikan makna dari suatu konteks, sehingga dapat memperluas pemahaman siswa (Fensham, 1994). Bagi siswa madrasah Tsanawiyah yang baru mengawali belajar kimia‚ pengembangan pembelajaran dengan memadukan konsep-konsep kimia dengan peristiwa di dunia nyata, mempermudah siswa mengkonstruksi konsep-konsep dalam struktur kognitifnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa :

  1. Setelah pembelajaran zat aditif dalam makanan, secara keseluruhan keterampilan proses sains siswa sudah menunjukkan penguasaan yang baik pada aspek keterampilan merencanakan percobaan, mengamati, melakukan komunikasi, mengelompokkan, dan interpretasi. Namun masih kurang pada keterampilan menggunakan alat dan bahan.
  2. Sikap siswa setelah pembelajaran menunjukkan hasil yang baik Siswa bersikap selektif dan hati-hati dalam memilih makanan serta memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan diri, keluarga, dan orang lain.
  3. Pembelajaran zat aditif dalam makanan yang melatih keterampilan proses sains siswa mendapat tanggapan positif dari siswa, karena semua siswa dapat terlibat langsung dalam proses pembelajaran sehingga lebih memudahkan mereka untuk menguasai materi pelajaran.

Berdasarkan temuan dan kesimpulan dari penelitian , maka disarankan :

  1. Pembelajaran sains kimia di MTs/SMP untuk materi pokok lain yang relevan, sebaiknya dilaksanakan melalui metode praktikum dan demonstrasi agar siswa dapat mengembangkan keterampilan proses sains.
  2. Guru sebaiknya merancang pembelajaran sedemikian rupa agar siswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak jenuh dan dapat menyerap bahan pembelajaran.
  3. Bahan pembelajaran, sebaiknya senantiasa dikaitkan dengan masalah yang erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa merasakan kebermaknaan ilmu yang dipelajarinya.
  4. Sebaiknya guru senantiasa memberikan motivasi dan penghargaan pada siswa dengan memberikan umpan balik yang memadai dan tidak menganggap rendah terhadap kemampuan siswa terutama untuk siswa Madrasah.
  5. Perangkat tes yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran siswa, sebaiknya dirancang lebih menarik agar dapat mereduksi kecemasan dan rasa tertekan siswa dalam menghadapi tes.

V. DAFTAR PUSTAKA

Aisjah Girindra. 2006. Halalan Thayyiban. http://www.halalguide.info/indeks2.php (3 Agust, 2006)

Coper, James M, et.al. 1982. Classroom Teaching Skills. 2nd. Canada,Toronto : D.C.Heath and Co.

Fensham, Peter J. (1994). Beginning to Teach Chemistry, In Peter J. Fensham (ed.). The Content of Science: A Constructivist Approach to its Teaching and Learning. London : The Falmer Press : 14 – 27.

Hart, Harold. 1990. Kimia Organik. Edisi VI (Terj: Suminar Ach.). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research.. 2nd Philadelphia: Open University Press

Lawson, A.E. (1995). Science Teaching and Development Thinking, California : Wordsworth Pub.Co.

Montgomery, Rex. Et.al. 1993. Biokimia : Suatu Pendekatan berorientasi Kasus. (Terj: Ismadi). Yogyakarta : Gajahmada University Press.

Novak, J.D. (1980). Meaningful Reception Learning As A Basis For Rational Thinking : In A. E Lawson (ed.). The Psychology of Teaching for Thinking and Creativity : 1980 AETS Yearbook. Ohio : The Ohio State University. 192-221.

Rustaman, Nuryani. 1995. Pengembangan Butir Soal Keterampilan Proses Sains. Makalah Bandung Jurusan Biologi MIPA IKIP

Setio, Mudjajanto Edi. 2005. “Tahu Makanan Favorit yang Keamanannya Perlu Diwaspadai”. Kompas Cyber Media. 18 Desember 2005.

Vogel.. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Ed. V (Terj. : Hadyana.P). Jakarta: PT. Kalman Media Pusaka

Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar